Search
Sabtu 6 Desember 2025
  • :
  • :

Sertifikasi Influencer di Indonesia, Cegah Hoaks dan Ancaman Kebebasan Ekspresi?

MAJALAH ICT – Jakarta. Kementerian Komunikasi dan Digitalisasi (Kemenkomdigi) kembali memicu diskusi hangat di ranah digital dengan wacana sertifikasi influencer. Kebijakan ini digulirkan sebagai upaya menekan penyebaran hoaks dan konten negatif di platform media sosial, sejalan dengan penegakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Namun, wacana ini menuai pro dan kontra di kalangan warganet dan pelaku industri kreatif.

Menurut Kemenkomdigi, sertifikasi bertujuan menciptakan ekosistem digital yang lebih bertanggung jawab. Influencer diharapkan mematuhi pedoman etika dalam membuat konten, termasuk memverifikasi informasi sebelum disebar. Langkah ini dianggap mendesak karena maraknya hoaks, termasuk narasi mistis atau manipulasi berbasis AI, yang meresahkan masyarakat. Data dari Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) menyebut 67% pengguna internet Indonesia rentan terhadap misinformasi akibat literasi digital yang masih rendah.

Namun, usulan ini menuai kritik keras. Banyak kreator konten menilai sertifikasi berpotensi membatasi kebebasan ekspresi, terutama bagi influencer independen. “Sertifikasi bisa jadi alat kontrol, bukan solusi. Siapa yang menentukan standar ‘etis’?” tulis akun @galetheia__ di platform X, yang mendapat ratusan tanggapan. Pelaku industri juga khawatir biaya sertifikasi akan membebani kreator kecil, sementara platform besar seperti TikTok atau Instagram belum menunjukkan dukungan teknis.

Diskusi ini mencerminkan tantangan Indonesia dalam menyeimbangkan tata kelola digital dan demokratisasi ruang daring. Pemerintah diharapkan melibatkan komunitas kreator dalam merumuskan kebijakan agar tidak mematikan inovasi. Sementara itu, masyarakat diajak meningkatkan literasi digital untuk menciptakan ekosistem yang lebih sehat. Publik kini menanti detail regulasi, yang rencananya diumumkan awal 2026.