MAJALAH ICT – Jakarta. Kementerian Kominfo beberapa tahun terakhir ini menemukan adanya peningkatan sejumlah pelanggaran dan penyimpangan dalam penyelenggaraan telekomunikasi. Sebagian di antaranya bahkan sudah diproses secara hukum di lembaga peradilan. Pelanggaraan tersebut antara lain dalam bentuk layanan jasa internet yang tidak memiliki izin penyelenggaraan, penggelaran jaringan fiber optic yang tidak memiliki izin penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan layanan jasa internet yang mengambil akses langsung ke luar negeri tanpa melalui penyelenggara jasa interkoneksi internet, dan terminasi trafik internasional yang tidak melalui sentral gerbang internasional penyelenggara SLI (Sambungan Langsung Internasional).
Demikian disampaikan Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Gatot S. Dewa Broto. Menurut Gatot, diasumsikan, kerugian negara yang dimaksud dapat menjadi hingga Rp. 200 miliar per tahun. "Peningkatan jumlah pelanggaran ini mungkin searah dengan seiring dengan peningkatan jumlah penyelenggara telekomunikasi," kata Gatot dalam siaran pers nya. Dalam siaran pers tersebut disebutkan angka tepatnya kerugian negara akibat pelanggaraan penyelenggaraan telekomunikasi sebesar Rp. 770.836.500.000 dan Rp. 206.198.763.750/tahun.
Dijelaskannya, dari data di Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Ditjen PPI), jumlah penyelenggara telekomunikasi yang memillki izin penyelenggaraan telekomunikasi sampai dengan bulan Desember 2012 adalah sebanyak 478 penyelenggara, dimana 128 di antaranya adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi dan 350 penyelenggara jasa telekomunikasi . Terhadap izin penyelenggaraan telekomunikasi yang telah diterbitkan tersebut, Ditjen PPI telah melaksanakan tugas pokok dan fungsinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum dan kepastian usaha, menjamin kompetisi dan persaingan yang sehat, menjamin kualitas layanan kepada masyarakat, dan menjamin terpenuhinya kewajiban kepada negara dalam bentuk penerimaan pajak maupun non pajak.
Untuk itu pula, Kementerian Kominfo selain melakukan upaya-upaya penegakan hukum yang telah dilakukan, juga melakukan pembinaan dengan cara sosialisasi, edukasi berupa temu wicara, workshop, surat edaran, surat peringatan atau teguran, serta penindakan (pencabutan izin penyelenggaraan dan atau pidana) terhadap penyelenggara dan pelaku telekomunikasi.
Acara sosialisasi pra penertiban di Surabaya yang dilakukan di bawah koordinasi Direktorat Pengendalian Ditjen PPI ini hanya merupakan awal dari rencana penertiban terpadu yang ditujukan pada pelanggaran dalam penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk juga pelanggaran dalam penggunaan spektrum frekuensi radio dan juga penggunaan perangkat telekomunikasi yang tidak bersertifikat. "Target wilayah operasi penertiban adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, DKI Jakarta dan Banten. Namun tidak tertutup kemungkinan dapat meluas ke sejumlah provinsi lain-lainnya sejauh dipandang ada potensi pelanggaran yang terjadi. Kementerian Kominfo, khususnya Ditjen PPI, tidak ingin nantinya dianggap melakukan penertiban tanpa sosialisasi dan edukasi terlebih dahulu, dan itulah sebabnya kegiatan di Surabaya ini dilakukan. Bahwasanya akan ada strategi penertiban, metode dan waktu tepat penertiban itu semua bersifat rahasia yang hanya merupakan kewenangan beberapa pejabat tertentu di Ditjen PPI beserta aparat penegak hukum yang berhak mengetahuinya," ungkap Gatot.
Kegiatan sosialisasi yang dibuka resmi oleh Dirjen PPI Syukri Batubara ini ditujukan untuk menyamakan persepsi di antara internal jajaran Ditjen PPI dan Dinas-Dinas Kominfo terkait yang ada di daerah bersama berbagai instansi terkait yang rutin bekerja-sama dengan Ditjen PPI dalam setiap kegiatan penertiban, yaitu Korwas PPNS Bareskrim, Korwas PPNS Polda dan PPNS Balai Monitoring Spektrum Frekuensi Radio Ditjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika.