MAJALAH ICT – Jakarta. Bila tak ada aral melintang, pemerintah berencana mengimplementasikan teknologi long term evolution (LTE) akhir tahun ini di pita 2,3 GHz.
Harap-harap cemas implementasi di pita tersebut mengingat operator di dalamnya merupakan operator WiMax yang telah gagal menghadirkan teknologi tersebut di Indonesia. Meski banyak alas an di belakangnya, termasuk ketidaksiapan vendor, namun tetap saja pelanggan yang sudah lama menantikan teknologi tersebut hanya bisa gigit jari.
Seperti tak belajar dari kesalahan yang sama, pemerintah kekeuh menjalankan time duplex-Long Term Evolution (TD-LTE) di pita 2,3 GHz berkonsep fixed, bukan mobile. Nantinya, LTE di pita 2,3 GHz tetap menggunakan donggle dan PC atau laptop untuk mengaksesnya.
Sejumlah kalangan menilai teknologi netral yang diusung di pita 2,3 GHz tidak mengubah apapun, apalagi bila tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) tetap dibebankan pada perangkat operator.
Seperti diketahui, sejak lelang penyelenggara pada 2009, WiMax tak kunjung jalan. Kendala ketersediaan perangkat dan adanya aturan TKDN menjadikan teknologi Internet nirkabel pita lebar itu jalan di tempat.
Menurut laporan laporan Global mobile Suppliers Association (GSA) dan riset dari Indonesia ICT Institute, sudah ada 163 jaringan komersial operator di 67 negara. Namun begitu, sebagian besar menggunakan frekuensi 1800 MHz, yang mana 74 operator di 43 negara sudah mengkomersialkan jaringannya dengan 14,27 pengguna. Teknologi time duplex division long term evolution (TDD-LTE) dinilai lebih tepat beroperasi di pita frekuensi 2,5 GHz.
Sayangnya, pita tersebut saat ini masih dipakai untuk satelit broadcasting SES-7, tempat transponder Indostar-2 bersemayam untuk melayani pelanggan Indovision. Padahal sebagian besar negara di dunia menggunakan freuenu 2,5 Ghz untuk TD-LTE.
Pemanfaatan yang massal di seluruh dunia akan menurunkan harga perangkatnya. Keuntungan lainnya, pemerintah akan mendapatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) lebih besar mengingat biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi untuk penyiaran jauh lebih kecil daripada untuk teknologi netral.
Adopsi TDD-LTE di 2,3 GHz ini bukan dibuka lelang baru yang mana masih tersisa 60 MHz (bahkan beberapa wilayah lebih dari 60 MHz karena ditinggalkan pemenangnya seperti PT Telkom), melainkan memberikan privilege bagi para pemenang lelang di 2009 untuk mengadopsi teknologi netral.
Sehingga, penghuni 2,3 GHz sekarang yang menggunakan teknologi WiMax bisa beralih tanpa bayar tambahan apapun untuk menggunakan teknologi LTE.
Untuk 2,3 GHz, dari negara-negara yang sudah meluncurkan LTE secara komersial dan menggunakan TD LTE di frekuensi ini, hanya Australia dan India yang menggunakannya.
Sementara itu, yang menggunakan TDD dan FDD untuk 2,3 GHz, negara lain yang menggunakan adalah Hong Kong, Oman, Arab Saudi dan Sri Langka. Dari kenyataan itu, dapat dikatakan bahwa 2,3 GHz TD LTE tidak begitu favorit di dunia, bahkan masuk 3 besar opsi pemilihan frekuensi untuk LTE pun tidak.
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 13-2013 di sini