MAJALAH ICT -Jakarta. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menolak pemungutan Biaya Hak Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi (BHP Jastel) terhadap Internet Service Provider (ISP) karena tak diatur dalam Undang-Undang.
Sekadar diketahui, anggota APJII dikenakan kewajiban pembayaran PNBP berupa BHP Jastel dan universal service obligation (USO) sebesar 1,75% dari pendapatan kotor (total revenue).
Sementara kalau mengacu ke UUD 1945 amandemen pasal 23A disebutkan bahwa Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
“Artinya setiap pungutan yang bersifat memaksa adalah lewat undang-undang, bila tidak disebut pemalakan. Dalam hal ini, kita memiliki UU tentang PNBP nomor 20/1997,” tegas Ketua Umum APJII Semmy Pangerapan di sela-sela Rapat Kerja Nasional APJII, Rabu (29/5).
Dalam kesempatan ini, mencuat bahwa APJII sedang mempertimbangkan untuk memberikan dukungan kepada sekelompok masyarakat yang bermak-sud melakukan judicial review atas Undang-undang tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (UU No. 20/2009). Hal ini dibenarkan oleh Sekjen APJII Sapto Anggoro.
"Kami mendapatkan informasi bahwa ada sebuah organisasi atau kelompok NGO yang melakukan kajian tentang UU PNBP No. 20/1997. Kita sedang mempertimbangkan untuk memberikan dukungan hal itu," kata Sapto.
Sebelum mengambil keputusan sikap, APJII mengajak anggota dan kelompok tertentu untuk melakukan fokus grup diskusi membahas soal ini.
Bila ternyata tujuan dari judicial review itu memberikan dampak positif pada industri serta memberikan jalan kepada pemerintah dalam hal ini salah satunya PNBP di bidang telekomunikasi untuk mendapatkan kepastian hukum, maka hal itu bisa dimungkinkan.
Serta khusus tentang PNBP telekomunikasi diatur dengan UU No. 36/1999, antara lain pasal 26 bahwa setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi yang diambil dari persentase pendapatan. Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. "Apakah bisa besaran tarif pungutan diatur pakai PP , tapi bukan undang-undang?" keluh Sapto.