MAJALAH ICT – Jakarta. Industri telekomunikasi saat ini memasuki masa paceklik. Dari sekian banyak operator, hanya dua saja yang masih mendapatkan laba, sementara sisanya dalam posisi merugi. Termasuk PT Bakrie Telecom (BTEL). Bahkan BTEL pun sampai gagal membayar bunga obligasi yang jatuh tempo.
BTEL tidak bisa membayar kupon bunga atas obligasi bertajuk guaranteed senior notes yang diterbitkan anak usahanya, Bakrie Telecom Pte Ltd. Utang pokok obligasi yang terbit 7 Mei 2010 tersebut, senilai US$ 250 juta dengan kupon 11,50%. Pembayaran kupon ini jatuh tempo setiap 7 Mei dan 7 Nopember tiap tahunnya.
Namun karena tidak ada dana, hingga jatuh tempo waktu obligasi 7 Nopember kupon yang harus dibayar BTEL sekitar Rp. 164 miliar tidak bisa dibayarkan. Akhirnya, BTEL pun bernegosiasi dengan para pemegang obligasi untuk merestrukturisasi dan menunda pembayaran kupon obligasi.
Upaya lainnya, seperti dijelaskan Sekretaris Perusahaan BTEL Imanuddin Kencana, kemudian dibentuk steering committee (SC) yang terdiri dari konsultan FTI dan perwakilan kreditur untuk membahas penundaan pembayaran bunga obligasi. "Dengan terbentuknya SC, untuk sementara kami terhindar dari gagal bayar," kata Imanuddin.
Industri telekomunikasi memang sedang menghadapi cobaan berat karena mayoritas operator yang saat ini mencatatkan pertumbuhan negatif, termasuk BTEL. BTEL yang dikenal dengan produk Esia-nya mencatatkan kerugian yang kian membengkak mencapai Rp. 1,5 triliun.
Meski demikian, Direktur & Chief Finance Officer Bachder Bachtarudin, kinerja dinilai terus membaik karena didukung oleh revitalisasi bisnis serta efisiensi yang dilakukan perseroan secara berkesinambungan.
"Kinerja BTEL terus menunjukan penguatan dari segi laba usaha dan EBITDA dibandingkan periode yang sama tahun lalu. BTELjuga dapat mempertahankan jumlah pelanggan sebesar 11,4 juta pelanggan," katanya.
Ditambahkan Bachder, BTEL mencatatkan laba usaha kuartal III-2013 sebesar Rp100,8 miliar. Pencapaian tersebut meningkat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu dimana BTEL merugi hingga sebesar Rp.329,5 miliar.
Bachder melanjutkan, pada kuartal III-2013 ini BTEL mampu mempertahankan EBITDA Rp. 770 miliar dikarenakan keberhasilan BTEL menekan beban usaha menjadi Rp.1,495 miliar. "Rugi bersih BTEL sebesar Rp.1,5 triliun yang terutama disebabkan oleh rugi selisih kurs," ungkapnya.
Walaupun BTEL menolak bahwa secara demand pengguna Esia menurun akibat persaingan kompetisi yang kian tajam, namun secara kenyataan yang terjadi seperti itu. Frekuensi yang terbatas untuk dapat bersaing dengan operator lan, dan teknologi CDMA yang sudah mentok, membuat usaha BTEL dan terutama operator CDMA lain tidak berkembang. Selisih kurs tidak bisa semerta-merta dijadikan alasan kerugian mengingat, kejatuhan rupiah sesungguhnya baru dimulai pada Juli 2013 ini dan kerugian BTEL sudah tercermin di kuartal-kuartal sebelumnya.