oleh : Heru Sutadi*
Dalam Diskusi mengenai 4G yang digelar di Jakarta beberapa waktu lalu, diwacanakan perlunya mengkonsolidasikan jaringan menyambut kehadiran teknologi baru dan tantangan bisnis telekomunikasi dimana persaingan menjadi kian ketat di tengah banyaknya jumlah operator yang ada di Indonesia.
Jika kasus dugaan penyalahgunaan frekuensi yang disebut melibatkan Indosat dan IM2 tidak muncul dan ramai hingga ke pengadilan, Undang-Undang No. 36/1999 tentang Telekomunikasi beserta turunannya sudah memberikan koridor pengaturan mengenai jaringan dimana jaringan adalah kumpulan perangkat dan perangkat adalah kumpulan alat, sehingga jaringan menyatukan semua hal, termasuk frekuensi. Frekuensi dianggap seolah-olah terpisah, padahal frekuensi merupakan media dimana alokasi penggunaan frekuensi diatur dalam perijinan atau disebut dengan lisensi modern yang dikeluarkan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Jadi, dalam perijinan, tidak dipisahkan antara penyelenggaraan jaringan dan ijin frekuensi, melainkan dijadikan satu beserta hak dan kewajibannya.
Dalam beberapa aturan, penggunaan bersama jaringan tidak diragukan dan dapat dilakukan. Kalau antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa, aturannya jelas bahwa penyelenggara jasa dapat memanfaatkan jaringan dari penyelengara jaringan. Dari segi penggunaan menara bersama, ada ketentuan mengenai hal itu di Permen Kominfo No. 2/2008. Untuk pemanfaatan backbone misalnya, ada ketentuan mengenai sirkit sewa.
Sementara untuk penggunaan BTS, koridornya sudah ada dalam bentuk jelajah (roaming nasional) maupun penyewaan jaringan. Ini yang tidak banyak orang tahu, bahwa dalam Peraturan Menteri No. 1/2010 tentang Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi khususnya Pasal 49 dinyatakan secara tegas bahwa “Penyelenggara jaringan bergerak seluler dapat menyewakan jaringannya kepada penyelenggara bergerak seluler lainnya”. Di sini terkadung dua makna, pertama, operator seluler lainnya jika di suatu tempat tidak membangun jaringan, dapat menggunakan jaringan milik operator lain. Dan kedua, tentu dapat menggunakan frekuensi milik jaringan ornag lain tersebut, yang bahkan, dapat digabungkan dengan frekuensi yang dialokasi pada operator tersebut.
Pemanfaatan frekuensi dengan cara penggabungan ini penting ke depannya mengingat frekuensi adalah sumber daya terbatas yang harus dimanfaatkan seefisien da seoptimal mungkin. Mungkin kita bisa melihat dengan apa yang terjadi pada operator yang dialokasikan frekuensi di 850 MHZ, yang menggunakan teknologi CDMA dimana mayoritas dalam kondisi yang berat. Terakhir kita dengar Bakrie Telecom tidak dapat memenuhi kewajiban piutang yang jatuh tempo Desember 2012 lalusehingga sahamnya beralih ke Mount Charlotte holding Ltd.
Salah satu persoalannya adalah di 850 MHz alokasi frekuensi tiap operator sangat terbatas, rata-rata 5 MHz. Padahal, untuk data, lebar pita sebesar itu tidak cukup, sebab di 3G saja butuh minimal 10 bahkan sudah ada yang butuh lebih besar lagi sesuai peningkatan jumlah pengguna yang kian haus akan data yang besar dan akses yang cepat. Pemanfaatan akan penggabungan frekuensi akan makin besar karena dapat berkorelasi terhadap konsolidasi operator-operator yang menurut beberapa analisis ideal pada angka 5-6 operator saja.
Pemanfaatan akan penggabungan frekuensi akan makin besar karena dapat berkorelasi terhadap konsolidasi operator-operator yang menurut beberapa analisis ideal pada angka 5-6 operator saja. Namun begitu, kebijakan ini tentunya jangan bersifat eksklusif, hanya direntang 850 MHz saja, melainkan dapat dipakai di rentang frekuensi yang memang secara teknologi butuh frekuensi besar dan penggunanya meningkat dan akan terus meningkat, seperti di 900 MHz, 1800 MHz maupun 3G di 2,1 GHz. Dan agar tidak ada persoalan dianggap merugikan negara, maka kewajiban pembayaran BHP Frekuensi tetap menjadi kewajiban masing-masing operator yang mendapat alokasi frekuensi.
Lalu pengaturan masalah ini menjadi wewenang siapa? Dalam UU Telekomunikasi berikut turunannya, jelas pengaturan menjadi domain dari pemerintah. Dimana untuk masalah kebijakan menjadi domain dari Menteri Komunikasi dan Informatika, sementara untuk pengaturan, pengawasan dan pengendalian di tangan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Sehingga kita tunggu saja, bagaimana Menkominfo dan BRTI menjawab tantangan industri telekomunikasi ini secara cepat.
*Heru Sutadi. Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 7-2013 di sini