MAJALAH ICT. Indonesia baru saja menyelesaikan proses seleksi blok tambahan 3G. Selesainya seleksi ini, kemudian tentunya akan ditindaklanjuti dengan penataan menyeluruh terhadap blok atau rentang 2,1 GHz yang dipakai untuk IMT-2000 atau 3G. Hal itu kondisi saat ini operator yang mendapat alokasi dua blok maupun tiga blok dalam posisi tidak berdampingan (contigous). Blok yang berdampingan untuk tiap operator dipercaya lebih efisien dan efektif dalam pemanfaatan spektrum frekuensi dibanding yang tidak.
Karena penambahan blok 3G untuk beberapa operator adalah hanya solusi sementara, dimana kebutuhan teknologi dengan kapasitas lebih besar dan kemampuan kecepatan yang lebih tinggi, maka adopsi teknologi 4G perlu segera dipikirkan. Salah satunya adalah adopsi Long Term Evolution (LTE).
Dalam adopsi LTE, The Global Mobile Supplier Association (GSA) mencatat per 8 Januari 2013, ada 145 jaringan LTE yang sudah komersial di 66 negara. Sementara yang sudah mulai investasi, ada 381 operator di 114 negara. GSA memperkirakan akan ada 234 jaringan LTE yang komersial hingga akhir tahun 2013 di 83 negara.
Bagi Indonesia, yang paling penting sebelum adopsi LTE adalah mempersiapkan ekosistem secara baik lebih dulu. Belajar dari adopsi 3G yang saat diadopsi belum diketahui apa yang menjadi killer application, dan WiMax yang di tengah jalan kebijakan diubah karena perkembangan teknologi, maka untuk adopsi LTE semua hal dari soal kebijakan alokasi spektrum frekuensi, standardisasi, kesiapakan vendor, operator serta masyarakat dalam menggunakan LTE nantinya, perlu dikedepankan.
Dalam penentuan frekuensi, hingga saat ini belum ada kepastian kebijakan, dimana LTE akan dialokasikan. Walaupun, dalam diskusi-diskusi awal, rentang 2,3 GHz yang masih tersisa 60 MHz akan dipakai untuk LTE berdampingan dengan WiMax. Pasalnya, Indonesia menghadapi kendala dimana untuk frekuensi 2,6 GHz saat ini sudah dialokasikan untuk BWA lain dan televisi berlangganan lewat satelit, Indovison. Sementara untuk digital dividen di 700 MHz, masih butuh waktu hingga 2018 sampai seluruh wilayah Indonesia bermigrasi dari televisi analog ke televisi digital. Memang ini mungkin saja dipercepat dimana salah satunya adalah mempercepat penyediaan set top box secara subsidi pemerintah maupun operator yang berminat LTE di frekuensi itu, serta pemakaian frekuensi yang tidak harus menunggu semua wilayah selesai migrasi.
Memang untuk rentang frekuensi yang paling banyak digunakan saat ini untuk LTE adalah 1800 MHz. Dalam catatan GSA, 40% dari jaringan LTE yang sudah komersial di 145 operator menggunakan frekuensi 1800 MHz. Hal ini didukung keberadaan 130 product untuk frekuensi 1800 MHz dari sekitar 560 LTE device. Untuk memanfaatkan ini tentu kebijakan teknologi netral perlu dianut, dan khusus untuk kondisi di Indonesia di 1800 MHz adalah alokasi frekuensi operator yang tidak berdampingan dan alokasi yang tidak seimbang antaroperator. Mungkin ini akan jadi pekerjaan rumah untuk dapat diatasi, dan idealnya dilakukan bersamaan dengan band 900 MHz.
Penentuan frekuensi juga akan berimplikasi terhadap standardisasi. Apalagi, sejak adopsi 3G, ada kebijakan terkait tingkat kandungan dalam negeri (TKDN). Sehingga, perlu dirumuskan mana yang akan jadi TKDN dalam LTE. Adopsi WiMax memberi pelajaran cukup soal TKDN di sisi CPE dan base station. Standardisasi juga penting agar isu interoperabilitas dapat berjalan tanpa kendala.
Ekosistem juga perlu melihat bagaimana kesiapan vendor terkait alokasi frekuensi yang dipilih, dari BTS hingga perangkat di sisi pengguna, baik itu ponsel, tablet maupun modem/dongle untuk akses data. Sementara bagi operator, perlu dielaborasi strategi adopsi teknologi para operator ke depan, termasuk menjawab kapan saat yang tepat untuk adopsi LTE. Soal kapan ini juga penting, karena hal itu juga terkait kesanggupan operator menyediakan anggaran mengganti jaringan ke LTE serta membayar biaya pengguna spektrum. Ini penting, sebab untuk blok tambahan 3G saja, setelah ditentukan sebagai pemenang seleksi, Telkomsel dan XL masing-masing diwajibkan membayar Rp. 615,87 Miliar hanya untuk 5 MHz. Padahal, untuk LTE setidaknya dibutuhkan minimal 15 MHz bahkan 20 MHz.
Peran pengguna juga tidak bisa diabaikan dalam ekosistem. Sosialisasi dan edukasi amat sangat diperlukan. Sebab, adopsi teknologi ini muaranya adalah untuk dipakai pengguna. Upaya memberikan pengertian untuk memanfaatkan layanan data, suara maupun teks secara CETAR diperlukan di sini. Maksudnya, secara CErdas, TAhu waktu dan Rasa bertanggung jawab. Perkembangan teknologi harus bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan perekonomian lebih mencerdaskan dan hal positif lan. Membangun konten-konten lokal yang baik dan dibutuhkan masyarakat juga diperlukan dalam ekosistem. Agar kita tidak hanya jadi pasar membeli konten import, mencari informasi dan download aplikasi luar negeri, tapi juga membangun, menciptakan, meng-upload, hasil karya anak negeri agar dapat tersebar luas ke luar negeri.
Jika ekosistem siap, barulah saatnya ditentukan apakah LTE akan diadopsi dan kapan waktu yang tepat mengadopsinya.(majalahICT/Heru)