MAJALAH ICT – Jakarta. Di tengah meningkatnya ancaman terhadap keamanan data pribadi masyarakat, Kementerian Komunikasi dan Digital menegaskan komitmen melindungi publik dari risiko penyalahgunaan data digital, khususnya data biometrik. Sebagai langkah preventif, Kementerian Komdigi memutuskan untuk tetap memberlakukan sanksi penghentian sementara terhadap platform World yang dikelola oleh Tools For Humanity (TFH), termasuk mitra lokalnya PT Sandina Abadi Nusantara (PT SAN).
Terkait hal tersebut, Tools for Humanity (TFH) menyampaikan tanggapanya pada Majalah ICT. Disampaikan TFH, pihaknya menghargai penjelasan terbaru dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), dan sedang menelaah temuan tersebut dengan saksama. “Kami selalu memprioritaskan kepatuhan terhadap regulasi, termasuk mengenai perlindungan data, serta tetap berkomitmen untuk menanggapi setiap masukan yang disampaikan. Tujuan kami adalah untuk terus menjalin kerja sama dengan otoritas terkait agar dapat kembali menyediakan teknologi penting ini kepada masyarakat di Indonesia sesegera mungkin,” kata TFH.
Disampaikannya, untuk memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai teknologi World yang dirancang dengan prinsip perlindungan privasi, beberapa hal yang kembali tegaskan. “World tidak menyimpan atau menjual data pribadi apa pun, termasuk gambar iris. Identitas pengguna World ID yang telah terverifikasi terjamin anonimitasnya. Setelah seseorang berhasil memverifikasi bahwa mereka adalah seorang manusia yang nyata dan mendapatkan World ID mereka melalui perangkat Orb, gambar iris tersebut dienkripsi secara end-to-end dan dikirim ke perangkat pengguna. Gambar tersebut kemudian segera dihapus dari perangkat Orb secara permanen, tidak disimpan oleh World atau Tools for Humanity. Proses ini, yang dikenal sebagai Personal Custody, memastikan masing-masing individu tetap memegang kendali penuh atas data pribadi mereka. Baik World maupun Tools for Humanity tidak dapat mengakses ponsel seseorang atau data yang disimpan di dalamnya. Ini artinya, hanya pengguna yang dapat menghapus gambar iris mereka melalui World App. Selain itu, World bersifat open source, sehingga jaminan privasinya dapat diverifikasi secara independen dan oleh siapa pun,” jelas TFH.
Ditambahkan, World tidak mengetahui siapa pemegang World ID. “Tidak ada informasi nama, jenis kelamin, kewarganegaraan, alamat email, atau nomor telepon yang diperlukan untuk membuat akun World App atau memverifikasi World ID. Protokol World dirancang untuk memverifikasi bahwa seseorang adalah manusia yang nyata dan unik, tanpa mengetahui identitas pribadi mereka. Oleh karena itu, World tidak dapat mengetahui berapa banyak individu dari kewarganegaraan tertentu yang telah memverifikasi World ID mereka. Verifikasi secara anonim ini dilakukan dengan teknologi Zero Knowledge Proof (ZKP) dan Anonymized Multi-Party Computation (AMPC), yang mengonversi kode iris secara kriptografis menjadi fragmen terenkripsi. Fragmen-fragmen tersebut tidak mengungkapkan data apa pun tentang pengguna atau kode iris mereka. Fragmen terenkripsi ini pun tidak dapat ditautkan kembali kepada individu mana pun, termasuk sang pengguna. Oleh karena itu, World tidak dapat mengetahui identitas mereka yang telah bergabung dengan jaringan,” paparnya.
Dijelaskan, World hanya ditujukan untuk individu berusia 18 tahun ke atas; anak di bawah umur tidak diperbolehkan untuk berpartisipasi. Untuk membuat akun World App, calon pengguna harus mengonfirmasi bahwa mereka berusia di atas 18 tahun dengan memasukkan tanggal lahir mereka. Jika tanggal lahir menunjukkan usia di bawah 18 tahun, proses pembuatan akun otomatis diblokir. Selain itu, jika calon pengguna menutup aplikasi dan mencoba mengulang proses registrasi, mereka tidak dapat memasukkan tanggal lahir yang berbeda atau melanjutkan proses registrasi. “Hal ini mencegah individu di bawah 18 tahun melakukan percobaan berulang untuk melewati syarat batasan usia. Saat verifikasi, perangkat Orb juga menggunakan pembelajaran mesin canggih untuk menilai apakah seseorang terlihat di bawah umur. Jika sistem mendeteksi bahwa orang tersebut mungkin di bawah 18 tahun, verifikasi langsung dihentikan.”
“World terbuka untuk semua orang dan tidak menyasar komunitas rentan. World hadir untuk menjawab kebutuhan miliaran orang di seluruh dunia, yakni bukti bahwa mereka manusia nyata dan unik secara aman dan anonim di ranah digital. Keragaman para pengguna World ID sangat penting karena misi utama kami adalah untuk membangun jaringan global yang inklusif, aman, dan tepercaya untuk manusia nyata, sekaligus membuka akses terhadap layanan keuangan untuk siapa pun. Partisipasi pengguna selalu bersifat sukarela dan memerlukan persetujuan pengguna setelah mereka menerima informasi mengenai World, untuk memastikan semua peserta memahami prosesnya sebelum mendaftar. Hingga kini, lebih dari 13 juta orang di lebih dari 20 negara seperti Jepang, AS, Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Jerman, Austria, Meksiko, dan banyak negara lainnya telah mendaftar di World ID.”
Pada bagian akhir, juga diungkapkan bahwa tujuan World selaras dengan agenda digital Indonesia. “Saat ini, bukti manusia yang nyata dan unik, melalui verifikasi digital yang aman dan anonim, sangat penting untuk melindungi pengguna di ranah digital. Sejak awal, kehadiran World di Indonesia bertujuan untuk membantu individu menghindari penipuan, deep fakes, dan ancaman digital lainnya secara aman sambil memprioritaskan privasi. Kami berharap dapat kembali melanjutkan kegiatan operasional World secepatnya, dan menyediakan layanan ini kepada masyarakat Indonesia, sambil tetap menjaga keamanan, privasi, dan inovasi teknologi sebagai fokus utama dalam setiap kegiatan kami.”
Sebagaimana diketahui, disampaikan Komdigi bahwa hasil dari proses klarifikasi dan pemeriksaan menyeluruh terhadap aktivitas pengumpulan data biometrik iris melalui platform World ID, dinilai belum sepenuhnya memenuhi ketentuan hukum nasional.
“Tetap diberlakukan suspend. Sanksi tersebut merupakan langkah preventif yang diambil untuk melindungi masyarakat dari risiko pengumpulan data biometrik iris dan merupakan tindak lanjut proses klarifikasi dan pemeriksaan menyeluruh,” tegas Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Kementerian Komdigi Alexander Sabar di Kantor Komdigi, Jakarta Pusat.
Menurut Alexander, evaluasi teknis atas dokumen, sistem, dan mekanisme yang digunakan TFH menunjukkan masih adanya pelanggaran terhadap ketentuan perlindungan data pribadi serta kewajiban administratif sebagai Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang sah.
Kementerian Komdigi juga menyoroti aspek etika dalam proses pengumpulan data, terutama ketika praktik tersebut menyasar kelompok rentan.
“Kelompok rentan ini mencakup antara lain anak-anak dan remaja, lansia, penyandang disabilitas, masyarakat dengan tingkat literasi digital rendah, serta mereka yang berada di wilayah terpencil atau dengan akses informasi terbatas,” jelasnya.
Sebagai bagian dari penegakan regulasi, Kementerian Komdigi menetapkan empat kewajiban utama yang harus dipenuhi oleh TFH dan mitranya, dengan penghentian aktivitas pengumpulan dan pemindaian iris, serta pemrosesan data iris (termasuk data yang telah di-hash) yang sebelumnya dilakukan terhadap masyarakat Indonesia.
Penghapusan permanen terhadap seluruh iris code dan data/kode terenkripsi lainnya yang berasal dari warga negara Indonesia dan tersimpan di perangkat pengguna.
Rekomendasi perbaikan menyeluruh terhadap tata kelola data pribadi, sistem keamanan data, serta prosedur operasional yang menjamin tidak ada data anak diproses di masa mendatang.
Kepatuhan penuh terhadap regulasi nasional, sebagai syarat mutlak untuk melanjutkan operasional bisnis di Indonesia.
“Kami juga memberikan rekomendasi perbaikan menyeluruh terhadap tata kelola data pribadi, sistem pelindungan data, dan prosedur operasional TFH. Termasuk kewajiban menjamin bahwa tidak terdapat data anak yang diproses apabila TFH hendak melanjutkan kegiatan bisnis di Indonesia,” ujar Alexander.
Kementerian Komdigi menekankan bahwa kelangsungan aktivitas TFH di Indonesia akan bergantung pada komitmen nyata perusahaan dalam menjunjung tinggi kepatuhan terhadap regulasi nasional serta menunjukkan tanggung jawab sosial yang nyata kepada masyarakat.
“Kami senantiasa berkomitmen untuk menjaga ruang digital Indonesia agar tetap aman, adil, dan bertanggung jawab melalui kegiatan pengawasan di ruang digital,” tegas Alexander.