MAJALAH ICT – Jakarta. Seringnya pemerintah Indonesia melakukan blokir terhadap situs-situs tertentu, ternyata mendapat sorotan dunia internasional. Pemblokiran itu dikatakan tidak jelas dan tidak konsisten. Seperti disampaikan Citizen Lab di Forum Tata Kelola Internet Dunia (Internet Governance Forum-IGF) 2013 yang digelar di Bali Nusa Dua Convention Center.
Seperti disampaikan Ronald Deibert, Director Citizen Lab of Canada Centre for Global Security Studies, berdasar pengujian yang dilakukan lembaganya, selain pornografi dan judi, beberapa konten yang disensor di Indonesia termasuk konten yang terkait dengan lesbian dan gay, seksual, dan juga beberapa konten yang terkait Islam.
"Mekanisme sensor konten yang dilakukan tidak jelas. Filtering konten Internet di Indonesia dilakukan secara ad hoc dan pemerintah memerintahkan pihak ketiga untuk melakukan pemblokiran," kata Ronald.
Disampaikan Ronald, Citizen Lab menemukan bahwa ada sebuah situs diblokir, padahal seharusnya tidak perlu diblokir. Setelah diberitahu ISP kemudian membuka blokirnya hanya dalam hitungan menit. "Pemblokiran yang tidak jelas bisa berpotensi terjadi penyalahgunaan," tambahnya.
Citizen Lab sendiri sebagai pendiri OpenNet Initiatives telah melakukan penelitian mengenai filtering di 74 negara, dan menemukan bahwa 42 dari 74 negara tersebut melakukan filtering. Tipe konten yang harus melalui filtering berbeda-beda di setiap negara, tergantung dari konteks politik, legal, sosial, dan budaya lokal.
Dengan masih disorotinya soal pemblokiran situs, maka dipastikan bahwa pesan Indonesia untuk menularkan virus perlunya etika global berinternet gagal. Pasalnya, etika global berinternet yang dimaksud Indonesia adalah bahwa tiap negara seperti Indonesia memiliki tata cara berbeda dalam memandang mana konten yang pantas dan yang tidak pantas, sehingga diberi keleluasaan untuk diblokir.