Search
Kamis 10 Oktober 2024
  • :
  • :

Gemerlap Industri Telekomunikasi Hanya Bersifat Semu (bagian 2)

MAJALAH ICT – Jakarta. Pertumbuhan yang diukur melalui penetrasi telekomunikasi juga terkadang absurd, karena penetrasi kecamatan hingga 100% belum tentu semua orang di kecamatan itu sudah memiliki ponsel, bisa jadi hanya puluhan orang saja. Apalagi, penetrasi kelurahan sampai 100%, ini merupakan sesuatu yang tidak masuk akal.

Pengukuran pertumbuhan telekomunikasi yang paling masuk akal adalah bila dilihat dari volume trafik telekomunikasi, baik layanan suara maupun SMS.

Layanan pesan singkat atau SMS pernah sangat booming pada periode 2000-2008 di Indonesia. Meski sumbangannya bagi pendapatan operator masih sekitar 20%-30%, namun pertumbuhannya relatif signifikan.

Diduga, hal itu karena budaya orang Indonesia yang merasa sungkan apabila bicara pada orang lain, terutama yang lebih tua, atasan, atau orang yang lebih dihormati.

Namun, seiring dengan maraknya aplikasi social media dan chatting, yang menawarkan layanan gratis, secara perlahan tapi pasti, layanan SMS pun mulai ditinggalkan, meski pun tarifnya sebenarnya makin menurun sejak ribut-ribut adanya kartel SMS pada 2008.

Berdasarkan data dari Asosiasi Kliring Trafik Telekomunikasi (Askitel), layanan SMS terus mengalami penurunan, apalagi setelah diterapkannya aturan interkoneksi cost based pada SMS sejak tahun ini. Setidaknya sampai awal Desember tahun ini, dibandingkan periode yang sama tahun lalu, trafik layanan SMS turun 17%.

Berdasarkan riset Frost & Sullivan, pendapatan operator dari layanan voice sejak 2009 hingga 2011 lalu mulai menurun dari sekitar 67%, 62% dan 60%.

Sementara pendapatan dari layanan non voice pada periode yang sama naik dari 33%, 38% dan 40% di akhir 2011.

Sedangkan pendapatan operator dari jenis layanan data service sejak 2009 hingga 2011 masing-masing juga menurun dari 80%, 82% dan 78%.

Pendapatan dari layanan non-sms cenderung naik dari 20%, 18% dan 22%.