Search
Senin 10 Februari 2025
  • :
  • :

Gugatan FPI dan APJII ke MK Berpotensi Hilangkan Pendapatan Negara Rp. 13,59 Triliun

MAJALAH ICT – Jakarta. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) selama tahun 2013 melebihi dari target yang ditetapkan. PNBP Kominfo selama 2013 sendiri mencapai Rp 13,59 triliun atau 110,94% dari target 2013 sebesar Rp 12,25 triliun. Capaian PNBP tahun 2013 sendiri meningkat 17,3% dibandingkan PNBP tahun 2012 yang mencapai Rp 11,585 triliun. Pada tahun 2011 capaian PNBP Kominfo mencapai sekitar Rp 11,232 triliun.

Saat pengumuman pencapaian target PNBP, Menteri Kominfo, Tifatul Sembiring, mengatakan, peningkatan PNBP akibat dari tumbuhnya industri sektor telekomunikasi disertai dengan kebutuhan akan layanan yang terus tumbuh dari masyarakat. Menurut Tifatul, capaian PNBP dari Kominfo merupakan yang terbesar setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ia menilai, industri telekomunikasi khususnya akan terus mengalami pertumbuhan karena kebutuhan konektifitas antar masyarakat dan teknologi yang terus berkembang.

Namun begitu, masa indah pencapaian PNBP terbesar setelah ESDM ini nampaknya bisa jadi tidak berlangsung lama. Hal itu setelah Front Pembela Internet (FPI) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi, yang selama ini dipungut pemerintah yang dalam ini Kementerian Komunikasi dan Informatika dinilai tidak sesuai konstitusi alias inkonstitusional. Dan seluruh pendapatan Kementerian Kominfo ini diatur melalui PP.

Menurut Juru bicara FPI Suwandi Ahmad saat mendaftakan gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi, uji materi itu ditujukan terhadap Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (UU PNBP) dan Pasal 16 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi (UU Telekomunikasi). "Dua UU ini inkonstitusional karena telah melanggar hak berusaha dan hak mendapatkan informasi. Industri telekomunikasi, khususnya penyedia jasa internet, merasa terlalu terbebani oleh berbagai biaya BHP," terang Suwandi.

Menurutnya, dalam industri telekomunikasi ada berbagai macam PNPB, yaitu Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) frekuensi, telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan konten. Selain itu, menurut Suwandi, rumusan tarif BHP jasa telekomunikasi dinilai tidak fair, karena dihitung 1% dari pendapatan kotor (revenue). Sedangkan pajak pendapatan badan saja dihitung berdasarkan keuntungan (pendapatan dikurangi pengeluaran). Selain itu, pendapatan-pendapatan dari usaha sampingan, yang sebenarnya dari usaha non-telekomunikasi, juga dihitung sebagai revenue yang menjadi obyek BHP.

Parahnya lagi, "Besaran dan tarif BHP itu ditentukan sesuka-sukanya oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika," ujar Suwandi. Hal ini dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan pasal 23A UUD 1945 yang mengatakan "pajak dan segala pungutan memaksa lainnya diatur dengan Undang-undang."