Search
Kamis 27 Maret 2025
  • :
  • :

Hapus BIS, BlackBerry Tabuh Lonceng Kematian

MAJALAH ICT – Jakarta. BlackBerry memang salah satu handset yang fenomenal dan begitu populer sejak 2008 hingga saat ini. POpularitasnya mengalahkan Nokia yang sebelumnya sangat menguasai pasar.

Namun, dibalik kemewahan dan popularitasnya, tersimpan arogansi yang begitu serus, yang cepat atau lambat bisa menghancurkan BlackBerry di pasar Indonesia, pasar yang selama ini membuat vendor asal Kanada itu bisa sedikit bernafas.

Arogansi BlackBerry yang merupkan pertanda lonceng kematinnya bahkan dimulai terhadap para jurnalis atau wartawan yang akan meliputnya. Adapun, sikap arogansi selegkapnya yang dmaksud adalah:

1. Peluncuran yang begitu tertutup dan eksklusif membuat wartawan kesulitan mendapatkan informasi memadai mengenai BlackBerry dan pasarnya. Akses wartawan yang terlalu ketat juga membuat ketidaknyamanan wartawan, apalagi untuk menulis tulisan tentang BlackBerry lebih luas lagi.

2. Penerapan pre order bagi penjualannya oleh operator telekomunikasi adalah terlalu berlebihan, mengingat operator bukanlah pedagang ponsel, melainkan menyediakan jasa service. Berbeda dengan sebelumnya di mana BlackBerry belum memiliki mitra distributor, dengan adanya 3 distributor, maka seharusnya BlackBerry langsung menjual ke pasar seperti smartphone lainnya. Operator juga sebaiknya tak mengitimewakn BlackBerry karena setelah hilangnya BIS, maka BlackBerry tak lebih seperti ponsel biasa.

3. BlackBerry enggan mendirikan service center yang lengkap di Indonesia, seperti di Singapura. Padahal pasar Indonesia jauh lebih besar. Kalau ada pelanggan yang ingin memperbaiki BlackBerry-nya un sangat susah, dan bila pun bisa, akan sangat lama, minimal sebulan baru selesai.

4. BlackBerry tak mendirikan pabrik di Indonesia, malah membangunnya di Malaysia. Ini sangat mengherankan mengingat Indonesia justru meruakan pasar terbesar BB sehingga bila ada pabrik tentunya harga handset bisa ditekan.

5. BlackBerry menggunakan jaringan operator telekomunikasi tanpa memberikan bai hasil yang wajar untuk operator di Indonesia. Tidak adanya SErvice Level Agreement (SLA) dengan pelanggan menjadikan operator lah yang akan menanggung bila ada komplain.