Search
Kamis 19 September 2024
  • :
  • :

Indonesia Krisis Frekuensi, Operator Butuh Frekuensi Lebih Besar

MAJALAH ICT – Jakarta. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi di Indonesia, begitu cepat dan tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Era pita lebar (broadband) kita masuki, dan akan makin tinggi kebutuhan kecepatan yang diinginkan pengguna. Sehingga, karena ukuran aplikasi yang kian besar, pengguna yang banyak, dan kebutuhan kecepatan akses yang meningkat, frekuensi merupakan sumber daya yang begitu dibutuhkan. Namun, dalam perjalanannya frekuensi begitu sulit di dapat dan bersifat ekslusif.  

""Kebutuhan frekuensi yang cukup besar, sebenarnya bisa diatas dengan penggabungan frekuensi (frequecny pooling). Inilah topik yang dibahas dalam Focus Group Discussion Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) bersama pemangku kepentingan idnustri telekomunikasi. Hadir memberikan pandangan adalah Diretur Telekomunikasi Ditjen PPI Ismail, Kasubdit Penataan Sumber Daya Layanan Tetap dan Bergerak Ditjen SDPPI Denny Setiawan, senior di industri telekomunikasi seperti Djamhari Sirat, mantan Dirjen Postel, Kanaka Hidayat dari Mastel, Garuda Sugardo yang juga mantan Wakil Dirut Telkom, serta Nonot Harsono dari BRTI.

Menurut Denny Setiawan, pihaknya saat ini dalam kondisi pusing karena krisis frekuensi. "Kita dalam kondisi krisis frekuensi dimana ada kebutuhan sebesar 150 MHz, namun kita belum tahu bagaimana memenuhi kebutuhan tersebut. Sehinggga, masukan perlunya penggunaan frekuensi dengan sistem pooling (penggabungan) dapat dijadikan solusi krisis frekuensi ini," kata Denny. Sehingga Denny mengusulkan, asal segera dikaji semua regulasi dan dibuat aturan baru mengenai hal ini. "Segera saja buat task force dan buat aturan terkait hal ini seperti dalam bentuk peraturan menteri," tandas Denny.

Sementara itu, Kanaka menyampaikan bahwa pemanfaatan frekuensi yang digabungkan akan membuat optimalnya jaringan dan pemanfaatan frekuensi. "Yang tadinya, misalnya, masing-masing 10 MHz, setelah digabungkan, 20 MHz dapat dipakai dua operator," jelas Kanaka.

Sementara itu, Nonot Harsono melihat bahwa industri ini dibuat pusing oleh pihak Kejaksaan dimana hal yang umum terjadi dalam pemanfaatan spektrum frekuensi, namun kemudian dibawa ke rana hukum. "Ini kan hal yang biasa saja," tandasnya.