MAJALAH ICT – Jakarta. Munculnya akun twitter milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono @SBYudhoyono benar- benar enjadi fenomena tersendiri. Kehadiran social media ternyata telah dirasa penting bagi seorang presiden seperti SBY. Ya, lewat social media, terutama twitter, seseorang bisa menyampaikan pesan, kesan, atau sekadar menumpahkan keluh kesah secara bebas tanpa bayar, dikenai pajak, dan hanya membayar akses Internetnya saja.
Berkembangnya dunia sosial media di Indonesia bak cendawan di musim hujan, tumbuh signifikan, dan bahkan akun twitter sudah menjadi ikon baru seseorang.
Di era social media seperti saat ini, orang bisa membangun media tanpa investasi, tanpa kantor, tanpa SDM, tanpa perizinan yang rumit, dan yang terpenting, bisa dilakukan siapa saja, asal memiliki akes Internet.
Menurut aktivis social media Nukman Luthfie, akun seseorang yang sudah memiliki follower lebih dari 50.000 orang, sudah bisa disebut media baru, karena setiap tulisannya diakses lebih dari 50.000 orang, bayangkan bila itu artinya adalah oplah media cetak, itu berarti jumlah pembaca yang sangat besar, apalagi bila follower sudah ratusan ribu, bahkan jutaan.
Menurut Nukman yang memiliki akun twitter @nukman, yang paling terimbas berkembangnya social media adalah media cetak, sedangkan televisi masih kuat karena pemasang iklan masih menjadikan televisi sebagai prioritas utama, mengingat sekitar 99% penduduk Indonesia menonton televisi.
Media klasik seperti radio dan media cetak sudah ada di Internet sehingga mulai ditinggalkan karena tingginya penetrasi gadget cerdas di tengah masyarakat, sehingga orang bisa mengakses berita online langsung dari twitter.
Dulu ketika ada radio, koran dikhawatirkan akan turun, ada tv dikhawatirkan radio turun, tapi kenyataannya mereka tetap hidup, meski pertumbuhannya lambat. Yang paling terkena dampak perkembangan Internet adalah media cetak. Bahkan beberapa media cetak di AS sudah tutup.
Media cetak masih bisa tetap hidup karena tertutup biaya operasionalnya oleh iklan, sedangkan bila tak ada iklan, lambat laun akan mati dengan sendirinya. Iklan di media cetak pun sudah mulai tergerus media online karena di media online, perhitungan pengunjung dan pembacanya terukur lewat berbagai aplikasi termasuk Google Analytics dan Alexa, dan inilah yang disukai pemasang iklan.
Perkembangan teknologi informasi dan Internet yang begitu cepat menjadikan pemasang iklan tidak lagi memfokuskan diri ke layar besar atau televisi, tapi juga layar kecil seperti ponsel dan tablet.
Izak Jenie dari Nexian malah mengungkapkan sebaliknya, bahwa iklan di televisi sudah tak relevan lagi saat ini, apalagi bila melihat sangat jarang orang yang menonton televisi lebih dari 3 jam dalam sehari.
“Kalau internetan di depan ponsel atau tablet banyak yang lebih dari 3 jam dalam sehari, dan jumlahnya akan terus meningkat di masa-masa mendatang,” ujar Izak. (ICT/ap)
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 8-2013 di sini