MAJALAH ICT – Jakarta. Layanan perdagangan secara elektronik (e-commerce) mulai bergerak di Indonesia. Beberapa platform dan penyedia layanan, selain yang internasional, yang lokal pun satu per satu tumbuh. Di sisi lain, Kementerian Keuangan berencana mengenakan pajak untuk layanan ini. Pro dan kontra pun muncul. Tapi apakah ini akan jadi satu-satunya penghambat layanan e-commerce?
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi melihat, memang urusan pajak ini, bagi pengembang maupun penjaja e-dagang yang baru menjadi faktor penghambat yang cukup besar. "Bisnis ini baru mau tumbuh, jadi harusnya diberikan insentif," kata Heru.
Namun, pengamat teknologi informasi ini juga menekankan perlunya dibedakan platform e-commerce lokal dan internasional atau kepanjangan tangan dari e-dagang internasional. "Yang lokal ini perlu dijaga dan diberikan insentif. Kalau yang internasional, perlu diperketat dan dikenakan kewajiban-kewajiban seperti harus membuka kantor di Indonesia dan transaksi dilakukan tidak menggunakan perbankan atau metode pembayaran luar negeri," harapnya.
Meski begitu, soal pajak ini bukan satu-satunya hambatan bagi e-dagang lokal untuk maju. "Saat ini juga banyak penipuan dari pihak-pihak yang seolah-olah memberikan layanan e-dagang, tapi begitu pembeli transfer uang barang tidak kunjung dikirim," ujarnya. Menurutnya, untuk mengatasi ini perlu adanya kerja sama semua pihak untuk melaporkan layanan e-dagang palsu karena selain melanggar UU Perlindungan Konsumen, juga merupakan tindak pidana.
Berdasar pengalaman pribadi, penghambat orang untuk menggunakan layanan e-dagang adalah kualitas barang yang tidak sesuai gambar atau foto. "Pernah membeli perangkat elektronik, tapi terdapat goresan-goresan. Untuk mengembalikan sulit, dan biaya ditanggung pembeli. Layanan purna jual seperti ini tentu mengecewakan," pungkasnya.