MAJALAH ICT – Jakarta. Mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Nonot Harsono tergelitik akan upaya yang mencoba membawa-bawa isu interkoneksi ke ranah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pasalnya, menurut Nonot, interkoneksi itu sederhana, jadi tidak perlu membawa-bawa KPK dan BPK dalam kasus ini.
Dijelaskan Chairman Mastel Institute ini, andai negara memilih sistem monopoli dalam menyediakan jaringan komunikasi bagi masyarakat, maka tentu tidak ada keributan interkoneksi. "Karena hanya ada satu operator yg melayani seluruh rakyat. Namun negara memilih sistem persaingan (multi operator), sehingga ada lebih dari satu jaringan komunikasi yg melayani masyarakat," kata Nonot.
Dengan kondisi tersebut, lanjutnya, sebagian masyarakat menjadi pelanggan dari satu operator, sebagian lagi memilih menjadi pelanggan operator yang lain. "Agar pelanggan dari setiap operator dapat terhubung dengan pelanggan dari operator yg manapun, maka semua jaringan itu harus saling tersambung (ber-interkoneksi). Karena itulah UU Telekomunikasi mewajibkan interkoneksi (Pasal 25 UU 36/1999)," jelas Nonot.
Ditandaskannya, tanpa interkoneksi, masyarakat pengguna/pelanggan hanya bisa melakukan panggilan telepon on-net atau hanya dalam satu operator saja, dan tidak mungkin offnet alias menelepon dan kirim SMS lintas operator. "Jika tidak ada interkoneksi, masyarakat harus menjadi pelanggan semua operator dan memiliki SIM-card minimal sebanyak jumlah operator. Jika dia hanya punya satu ponsel, maka dia harus buka-tutup ponsel ntuk gonta-ganti SIM-card agar bisa menelepon ke semua nomor. Atau dia harus punya banyak ponsel. Terbayang betapa ribetnya. Karena itu interkoneksi diwajibkan demi melayani masyarakat," urai dosen Politeknik Negeri Surabaya ini.
Mengenai tudingan kerugian negara jika tarif interkoneksi baru diberlakukan, Nonot menegaskan bahwa sungguh berbahaya menuduh atau melontarkan isu kerugian negara dalam hal interkoneksi. Sebab yang dinyatakan sebagai angka kerugian itu adalah beban biaya yg harus ditanggung oleh masyarakat untuk sekedar bisa tersambung ke pelanggan dari operator yang berbeda. "Terkait hal ini, amat menarik wacana SKA (sender keep all) yang digalang operator, karena jika benar SKA dijalankan maka heboh interkoneksi akan langsung berakhir. Sebab SKA berarti biaya interkoneksi adalalah nol," tandasnya.
Nonot menganalogikan evaluasi berkala biaya interkoneksi itu bisa dianalogikan dengan operasi pasar. Jika harga terlalu tinggi maka pemerintah harus memaksa turunkan harga demi masyarakat. "Tidak bisa pedagang mengatakan pendpatan saya berkurang lalu menggugat regulator telah menyebabkan kerugian pendapatan," ujar Nonot sambil tersenyum.