MAJALAH ICT – Jakarta. Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Nuning Rodiyah, telah merilis lima buku di tahun ini. Karya tersebut merupakan catatan perjalanan dari penerima penghargaan perempuan inspiratif dari Hiapolo Institute Filantropi Indonesia pada 2021 selama mengabdi di KPI. Nuning menjadi Anggota KPI Pusat selama dua periode, 2016–2019 dan 2019–2022.
“Semoga apa yang saya sampaikan dalam buku-buku tersebut bisa menjadi bacaan yang bermanfaat,” ungkap peraih predikat Tokoh Peduli Budaya Lokal dalam ajang International Celaket Cross Cultural Festival (ICCCF) 2017.
Buku-buku yang dimaksud berjudul Komisi Penyiaran Indonesia, Antara Tantangan Zaman Dan Harapan Masyarakat; Literasi Media, Dari Politik, Ekonomi, Budaya, Pendidikan, Sampai Agama; Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa : Catatan Perjalanan GLSP KPI Tahun 2020-2021; TVRI Dan Digitalisasi Penyiaran; serta TVRI Menyatukan Bangsa.
Komisi Penyiaran Indonesia, Antara Tantangan Zaman Dan Harapan Masyarakat menggambarkan posisi strategis KPI untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Khususnya, dalam bidang pengawasan penyiaran. Media penyiaran di era internet menghadapi tantangan yang kompleks. Masyarakat menaruh harapan besar agar KPI berperan aktif dalam menciptakan atmosfer penyiaran yang baik.
Literasi Media, Dari Politik, Ekonomi, Budaya, Pendidikan, Sampai Agama memaparkan tentang urgensi literasi media di segala bidang. Saat ini banyak pihak-pihak yang kerap mengambil keuntungan dari perpecahan. Jangan sampai masyarakat gampang terpancing dengan informasi yang keliru dan hoaks. Di samping itu, literasi media penting untuk membangun spirit kritis dari tiap warga negara. Melalui cara tersebut, konten-konten yang bagus, informatif, edukatif, dan menghibur dari media massa akan terus bermunculan.
Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa : Catatan Perjalanan GLSP KPI Tahun 2020-2021 berisi tentang seluk-beluk program Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa yang dilaksanakan oleh KPI sepanjang 2020 dan 2021. Awak KPI Pusat melakukan penyuluhan ke seluruh pelosok tanah air. Program ini merupakan langkah kolaboratif yang melibatkan banyak elemen, mulai KPI Daerah, pemerintah, kalangan masyarakat, praktisi penyiaran, organisasi masyarakat, serta unsur-unsur lainnya.
Konten-konten media penyiaran yang sehat merupakan kebutuhan bersama. Oleh sebab itu, tiap orang harus ikut melakukan pemantauan terhadap isi siaran. Tayangan harus dipastikan ramah anak, tidak bias gender, tetap menjaga kearifan lokal kultur Indonesia, dan selaras dengan nilai-nilai moral keagamaan yang ada. Hal-hal semacam itu yang terus disuarakan dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa.
TVRI Dan Digitalisasi Penyiaran mempotret kiprah Lembaga Penyiaran Publik ini. Utamanya, berkenaan dengan penerapan Analog Switch Off di Indonesia. TVRI tidak hanya berperan sebagai multiplekster. Lebih dari itu, TVRI harus bisa bertahan di era digital, sekaligus menjadi teladan bagi lembaga-lembaga penyiaran lain, baik dari sisi produksi maupun manajemen.
Melalui TVRI Menyatukan Bangsa, disampaikan tentang peran penting TVRI di zaman globalisasi seperti sekarang ini. Sejarah membuktikan, TVRI sudah bisa terus mengawal sejarah kemajuan bangsa sejak berdiri tahun 1962. Masyarakat tentu tidak ingin TVRI sekadar menjadi “pelengkap” dalam kancah pertelevisian tanah air. Terlebih, cakupan infrastruktur yang dimilikinya tergolong paling luas ke segenap daerah di nusantara.
Tayangan-tayangan yang sarat nilai budaya dikreasikan secara berkelanjutan. Meski demikian, pengemasan dan pemanfaatan teknologi termutakhir menjadi sebuah keniscayaan. Apalagi, belakangan stasiun televisi ini telah memiliki kanal internasional TVRI World. Inovasi kreatif harus terus diimplementasikan. Tantangan yang ada mesti bisa ditransformasikan menjadi peluang.
“TVRI harus menjadi garda terdepan demi menjaga integrasi sosial bangsa. Stasiun televisi kebanggaan masyarakat ini mesti bisa bersaing tidak hanya di ranah nasional, namun juga di level global,” kata dia.