Search
Jumat 19 April 2024
  • :
  • :

Jika MK Kabulkan Gugatan APJII dan FPI, Kominfo Potensi Kehilangan Rp. 13 Triliun PNBP

MAJALAH ICT – Jakarta. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) selama tahun 2013 melebihi dari target yang ditetapkan. PNBP Kominfo selama 2013 sendiri mencapai Rp 13,59 triliun atau 110,94% dari target 2013 sebesar Rp 12,25 triliun. Capaian PNBP tahun 2013 sendiri meningkat 17,3% dibandingkan PNBP tahun 2012 yang mencapai Rp 11,585 triliun. Pada tahun 2011 capaian PNBP Kominfo mencapai sekitar Rp 11,232 triliun.

Saat pengumuman pencapaian target PNBP, Menteri Kominfo, Tifatul Sembiring, mengatakan, peningkatan PNBP akibat dari tumbuhnya industri sektor telekomunikasi disertai dengan kebutuhan akan layanan yang terus tumbuh dari masyarakat. Menurut Tifatul, capaian PNBP dari Kominfo merupakan yang terbesar setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Ia menilai, industri telekomunikasi khususnya akan terus mengalami pertumbuhan karena kebutuhan konektifitas antar masyarakat dan teknologi yang terus berkembang.

Namun begitu, masa indah pencapaian PNBP terbesar setelah ESDM ini nampaknya bisa jadi tidak berlangsung lama. Hal itu setelah Front Pembela Internet (FPI) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan bahwa pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor telekomunikasi, yang selama ini dipungut pemerintah yang dalam ini Kementerian Komunikasi dan Informatika dinilai tidak sesuai konstitusi alias inkonstitusional. Dan seluruh pendapatan Kementerian Kominfo ini diatur melalui PP.

Menurut Kuasa Hukum Pradnanda Berbudy, APJII dan FPI merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi. "Pasal-pasal tersebut telah membebankan pemohon berupa pungutan PNBP atas kontribusi kewajiban pelayanan universal telekomunikasi (universal service obligation/USO), Biaya Hak Hak Penyelenggaraan (BHP) telekomunikasi, dan biaya hak penggunaan spektrum frekuensi," katanya.

Ditambahkannya, kesemua pasal tersebut telah mengamanatkan ke pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk dapat mengatur lebih lanjut, dimana pemerintah dapat menambah jenis dan boleh mengatur tarifnya. Untuk mengatur ini muncul Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Komunikasi Dan Informatika dan dirubah PP nomor 76 tentang Perubahan. 

Diungkap Pradnanda, dalam peraturan ini dimana tarif diatur oleh pemerintah, namun PP tersebut tidak menyebut secara tegas berapa nominal angka yang harus dibayarkan. "Ternyata nominal angka tarif ini diatur dalam lampiran PP, artinya tidak ada kepastian hukum, di satu sisi tarif diatur dalam UU, tapi dalam satu sisi diatur dalam lampiran, sehingga pemerintah dengan bebas menetukan tarif tanpa campur tangan DPR," katanya.

Untuk itu, pemohon meminta MK menyatakan bahwa materi muatan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PNBP dan Pasal 16, Pasal 26 dan Pasal 34 UU Telekomunikasi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.