Search
Sabtu 5 Oktober 2024
  • :
  • :

Kaleidoskop ICT 2018 – Juni: MK Nyatakan Ojek Online Ilegal

MAJALAH ICT – Jakarta. Mahkamah Konstitusi menolak Judicial Review yang diajukan Tim Pembela Rakyat Pengguna Transportasi Online atau Komite Aksi Transportasi Online (KATO) terhadap Undang-Undang 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang Pengucapan Putusan pada Kamis (28/6 ini) pagi iini. Permohonan ini teregistrasi dengan nomor perkara 41/PUU-XVI/2018. Dalam putusan terhadap norma yang duji Pasal 138 Ayat (3) UU No. 22/2009 yang berbunyi “Angkutan umum orang dan/ atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum,” MK menyatakan menolak uji materi yang diajukan. Ini artinya, keberadaan ojek online adalah ilegal.

“Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” demikian putus MK dengan Majelis pemutus yang terdiri dari Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Manahan Sitompul, I Dewa Gede Palguna, dan Saldi Isra. “Sepeda motor bukanlah tidak diatur dalam UU LLAJ, sepeda motor diatur dalam Pasal 47 ayat 2 huruf a UU LLAJ. Namun, ketika berbicara angkutan jalan yang mengangkut barang dan/atau orang dengan mendapat bayaran, diperlukan kriteria yang dapat memberikan keselamatan dan keamanan,” papar majelis.

Sebagaimana diketahui, Komite Aksi Transportasi Online mewakili 50 Pemohon yang datang dari berbagai latar belakang profesi, yaitu pengemudi ojek online, pengurus organisasi serikat pekerja/ serikat buruh, karyawan swasta, wiraswasta, wartawan, pelajar/mahasiswa, dan pengguna jasa ojek berbasis aplikasi online (ojek online).

Dalam permohonannya, para Pemohon mengungkapkan bahwa keberadaan ojek online merupakan sebuah fakta yang aktual. Pemohon memaparkan keunggulan ojek online yang tidak hanya menawarkan layanan transportasi, tetapi juga layanan berbelanja serta layanan pemesanan makanan. Pemohon menilai bahwa saat ini, pasal a quo tidak mengakomodasi jaminan konstitusional para Pemohon, baik sebagai pengguna maupun pengendara ojek online tersebut. Sebaliknya, pasal a quo dinilai Pemohon berpotensi memicu reaksi penolakan terhadap keberadaannya.

Pada sidang 21 Mei 2018, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta Pemohon menguraikan kerugian konstitusional para Pemohon. Menurut Arief, kerugian konstitusional dalam permohonan a quo belum dapat ditemukan, apalagi jika disandingkan dengan legal standing para Pemohon dimana sebagian Pemohon merupakan pengemudi dan sebagian yang lain merupakan pengguna jasa ojek online. Kerugian konstitusional Pemohon juga diminta Hakim Suhartoyo untuk diperjelas, khususnya dalam hal pelarangan beberapa kota terhadap aktivitas ojek online yang disebutkan Pemohon dalam permohonannya. Hakim Konstitusi Suhartoyo meminta Pemohon memperjelas apabila kota-kota yang disebutkan Pemohon telahmelahirkan peraturan yang mengatur pelarangan tersebut.

Terhadap definisi angkutan umum yang dinilai Pemohon merugikan, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams meminta Pemohon untuk mencermati ketentuan umum yang mengatur definisi tersebut, yaitu Pasal 138. Hakim Konstitusi Wahiduddin dan Hakim Konstitusi Arief tidak menemukan permasalahan dalam norma yang mengatur definisi angkutan umum yang dipermasalahkan oleh para Pemohon.