MAJALAH ICT – Jakarta. Nampaknya, percikan perseteruan antara pengemudi ojek konvensional dan pengemudi ojek online kini dimulai. Pengemudi ojek tradional menolak masuknya layanan seperti Go-Jek maupun Grab Bike untuk masuk ke wilayah-wilayah dimana pengojek biasanya mangkal.
Dari beberapa pengemudi ojek tradional yang ditemui Majalah ICT, pengojek mengaku pendapatannya berkurang drastis akibat masuknya ojek online ke wilayah yang selama ini menggunakan jasa pengojek konvensional. "Layanan Go-Jek maupun Grab Bike masuk ke wilayah yang selama ini tempat kami mencari nafkah. Dengan masuknya mereka, rejeki kami berkurang bahkan kadang ‘dimakan’ semua oleh Go-Jek atau Grab Bike," sesal Supri, seorang pengojek.
Menurut Supri, sebenarnya, layanan ojek yang mereka berikan juga tidak beda dengan ojek online, hanya yang online melewati batas-batas wilayah. "Bus atau angkot saja ada trayek-trayeknya, ini semua diambil oleh ojek online. Padahal ojek online cuma menang pakai jaket dan helm baru saja," tambahnya.
Sementara itu, pengojek lain di kawasan Kalibata, Parto mengatakan, tidak benar jika dikatakan tarif yang mereka tetapkan pada pengguna lebih mahal daripada tarif dengan ojek online seperti Go-Jek. "Tarif kami atas dasar kesepakatan dengan yang memakai jasa kami, tidak ada paksaan. Pemerintah jangan pilih kasih mengutamakan GoJek, karena kami ini mencari rejeki dengan cara halal dan mengurangi pengangguran juga," katanya ketus.
Diungkapkan juga oleh Parto bahwa penolakan terhadap Grab Bike maupun Go-Jek akan makin membesar. "Ini harus ditolak. Pemda DKI Jakarta, harusnya membatasi Go-Jek di dekat kantor Pemda saja, sementara wilayah lain biar kami yang melayani. Kalau kami tidak ada pendapatan, apakah Pemda senang jika kami menganggur padahal mereka juga tidak bisa sediakan lapangan kerjaan untuk kami," tandasnya.
Di beberapa jalan, sudah mulai banyak beredar simbol-simbol penolakan Go-Jek. Spanduk-spanduk itu berbunyi itu berbunyi "Go-Jek dan Grab Bike Dilarang Masuk Daerah Ini". Sebagian besar, spanduk itu terlihat di sejumlah pusat keramaian. Selain spanduk di Kalibata City, simbol penolakan juga terlihat di kawasan Palmerah, Jakarta Barat. Spanduk penolakan serupa juga ditemukan di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.