MAJALAH ICT – Jakarta. Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 3/2013 tentang Iklan Telekomunikasi kepada seluruh penyelenggara telekomunikasi. Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S. Dewa Broto.
"SE ini secara umum dilatarbelakangi kondisi dalam rangka terciptanya persaingan usaha yang sehat di antara penyelenggara telekomunikasi serta perlindungan terhadap konsumen, dimana pemerintah mempunyai kewajiban untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi. Meskipun UU Telekomunikasi sudah mensiratkan bagi para penyelenggara telekomunikasi untuk tidak melakukan kegiatan komersial yang tidak sehat, namun dalam kenyataan masih ditemukan praktek usaha yang kurang sehat dalam memperluas pangsa pasar dengan menawarkan tarif yang tidak wajar, gratis sms maupun internet bahkan pemberian kartu perdana gratis serta undian berhadiah lainnya," jelas Gatot.
Ditambahkan Gatot, dalam rangka melindungi konsumen dan industri telekomunikasi itulah, maka Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Kominfo berkoordinasi dengan BRTI, YLKI, BNPK, Kementerian Sosial, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah melakukan rapat evaluasi berulang kali dengan topic mengenai iklan telekomunikasi. "Pada intinya rapat akhirnya menyepakati diperlukannya pengaturan dalam bentuk surat edaran (SE) terhadap penyelenggaraan iklan telekomunikasi. SE ini didasarkan pada sejumlah UU yang ada, yaitu UU tentang Undian, UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, UU tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Telekomunikasi, UU tentang Penyiaran, dan UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik," papar Gatot.
Menurut Gatot, maksud dari SE ini adalah sebagai himbauan kepada setiap penyelenggara telekomunikasi dalam mempromosikan dan mengiklankan produkdan layanannya agar mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan. Adapun beberapa hal penting lain yang diatur dalam SE ini di antaranya adalah penyusunan materi iklan telekomunikasi secara umum harus berdasarkan ketentuan dalam Etika Pariwara Indonesia (EPI), materi iklan telekomunikasi yang ditayangkan melalui media televisi dan radio wajib mentaati ketentuan dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) Komisi Penyiaran Indonesia. "Materi iklan telekomunikasi dilarang mencantumkan kata gratis atau kata lainnya yang bermakna sama bila ternyata konsumen harus membayar biaya lain," tegas Gatot dalam Siaran Pers nya.
Selain itu, lanjut Gatot, penyelenggara telekomunikasi yang memprakarsai dan membiayai pembuatan iklan telekomunikasi dan/atau pengguna jasa periklanan harus bersikap jujur dan bertanggung jawab terhadap informasi yang diiklankan, tidak merendahkan suku, ras, agama, budaya, negara, dan golongan, kemudian tidak melanggar kesusilaan. "Iklan telekomunikasi yang mencantumkan durasi, tarif pulsa, tarif internet, kecepatan akses , serta kualitas layanan lainnya , maka pihak penyelenggara telekomunikasi harus dapat membuktikan kebenarannya secara teknis dan tertulis. Iklan telekomunikasi yang mencantumkan undian berhadiah, wajib mendapatkan izin Kementerian Sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelenggara telekomunikasi wajib menyediakan Unit Pelayanan Pengaduan yang mudah diakses dan menyelesaikan keluhan konsumen," jelas Gatot.
Gatot juga menegaskan bahwa SE ini sama sekali tidak menghalangi para penyelenggara telekomunikasi untuk berkreasi, dan berinovasi membuat iklan telekomunikasi sebaik dan semenarik mungkin untuk meraih pangsa pasar yang lebih banyak dengan tarif yang semurah mungkin. Hanya saja, dengan SE ini diharapkan seluruh penyelenggara telekomunikasi dapat mentaati dan apabila terjadi pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. "Penyelenggara telekomunikasi yang melakukan pelanggaran dalam mengiklankan produk dan layanannya akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pemerintah bersama masyarakat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Surat Edaran ini," pungkas Gatot tanpa menyebutkan besaram sanksi dan ketentuan mana yang bisa dijadikan acuan pelanggaran.