Search
Jumat 4 Oktober 2024
  • :
  • :

Kaleidoskop ICT Maret 2015: Bakrie Telecom Mulai Limbung, PHK Mulai Terjadi

MAJALAH ICT – Jakarta. Setelah sekian lama menyembunyikan diri dan seolah tenang-tenang saja menghadapi kondisi keuangan yang terus merugi, akhirnya Bakrie Telecom (BTEL) tidak bisa menghindar lagi. Setelah sahamnya harus dibagi-bagi kepada vendor yang memberinya pinjaman karena tidak mampu membayar utang, BTEL mulai melakukan Pemutusan Hubungan Kerja Karyawan secara besar-besaran.

Presiden Direktur Bakrie Telecom Jastiro Abi mengatakan pengurangan pegawai sebagai strategi perusahaan agar operasional menjadi lebih efektif. Meski tidak disebut secara pasti, PHK dilakukan tidak sampai 800 karyawan. "Jumlahnya tidak seberapa, tidak sampai 800 karyawan. Setengahnya dari itu juga enggak sampai," ungkap Jastiro. 

Ditegaskannya, pengurangan karyawan merupakan bagian dari langkah efisiensi agar operasional perusahaan lebih efektif. Dari informasi yang didapat, karyawan perusahaan operator telekomunikasi berbasis CDMA dengan merek Esia itu per Desember 2013 mencapai 1.438 orang. Jika karyawan yang dirumahkan mencapai 400 orang, itu berarti 28 persen dari total jumlah karyawan perusahaan. 

Terkait pengurangan karyawan, Jastiro membantah jika disebutkan bahwa BTEL terancam bangkrut. "Operasional tetap jalan seperti biasa, tapi kondisi keuangan perusahaan memang memaksa kami melakukan efisiensi," pungkasnya.

Sementara itu, BTEL diketahui memiliki kewajiban membayar utang total sebesar Rp. 11,3 triliun. Dari utang sebesar itu, Rp. 1,2 triliun merupakan kewajiban BTEL kepada pemerintah terkait dengan pembayaran BHP frekuensi dan BHP USO sebesar Rp. 1,2 triliun. Jika kreditur lain utang-utang BTEL digantikan dengan saham BTEL, utang BHP kepada pemerintah dipastikan harus dibayar dan menjadi prioritas pembayaran secara tunai. Inilah yang menyandera BTEL hingga saat ini untuk melakukan tukar guling dengan PT SmartFren Telecom.

Dalam satu kesempatan, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, M. Ridwan Effendi menegaskan, pemerintah memberikan syarat yang harus dipenuhi sebelum kerja sama ini berjalan. Salah satunya adalah membayar kewajiban BHP frekuensi yang selama ini belum ditunaikan hingga Desember ini. 

"Mereka sebelum memulai kerja sama harus melunasi kewajiban BHP frekuensi masing-masing lebih dulu," ujar Ridwan. Namun Ridwan menolak mengungkap berapa kewajiban BHP frekuensi yang belum dibayarkan kedua operator tersebut.

Adapun besaran utang BTEL terkuak dalam dalam laporan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Berdasar verifikasi, diketahui total utang Bakrie Telecom mencapai Rp 11,3 triliun. Adapun rinciannya, utang BHP dan USO sebesar Rp 1,2 triliun, utang usaha sebesar Rp 2,4 triliun, utang penyedia tower sebesar Rp 1,3 triliun, utang dana hasil wesel senior sebesar Rp 5,4 triliun. Kemudian ada juga utang akibat derivatif sebesar Rp 185 miliar, utang afiliasi sebesar Rp 73,7 miliar, utang dengan jaminan sebesar Rp 625 miliar dan utang utang pembiayaan kendaraan sebesar Rp 2,6 miliar.

Utang-utang tersebut belum termasuk utang kepada beberapa investor Amerika Serikat, yang tidak diakui BTEL. Padahal, beberapa investor telah mengajukan gugatan ke pengadilan di Amerika Serikat terhadap BTEL dan perusahaan asosiasi karena diduga melanggar ketentuan ikatan utang-piutang sebesar 380 juta dolar AS atau sekitar Rp. 4,56 triliun. BTEL digugat karena dua kali tidak membayar bunga dan terus default pada kewajibannya.

Seperti dilaporkan Reuters, pihak penggugat adalah Universal Investment Advisory SA, Vaquero Master EM Credit Fund Ltd dan Trucharm Ltd, sementara pihak yang digugat adalah Bakrie Telecom Pte Ltd, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Bakrie Network and PT Bakrie Connectivity. Gugatan diajukan ke pengadilan negara bagian New York, Amerika Serikat.

PT Bakrie Telecom Tbk adalah induk dari Bakrie Telecom Pte Ltd, sebuah perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum Singapura yang menerbitkan obligasi. PT Bakrie Network dan PT Bakrie Connectivity merupakan anak dari PT Bakrie Telecom Tbk. Tiga penggugat, yang secara kolektif memiliki lebih dari 25 persen dari obligasi yang jatuh tempo Mei 2015, mengklaim perusahaan Grup Bakrie gagal membayar bunga yang jatuh tempo pada November 2013 dan Mei 2014.

"Tergugat telah mengakui bahwa akan terus default dan tidak ada pembayaran bunga yang akan dilakukan, sementara perusahaan secara rahasia melakukan negosiasi dengan perusahaan yang dipilih ‘steering committee’ dan merestrukturisasi perusahaan serta pencatatan obligasi yang diefektifkan," kata investor dalam pengajuan gugatan. "Dengan demikian, ada kemungkinan besar bahwa tergugat akan memperburuk default dan gagal untuk membuat pembayaran berikutnya yang jatuh tempo pada November 2014".