MAJALAH ICT – Jakarta. Peraturan Menteri (PM) yang baru No. 21/2013 mengenai pengaturan layanan konten yang disalurkan melalui jasa telekomunikasi seluler maupun FWA, berpotensi untuk kembali digugat Indonesia Mobile Content Association. Hal itu karena PM yang baru ini masih mencatumkan pengenaan Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi dan BHP USO, sebesar total 1,75% dari pendapan kotor.
Rencana gugatan terhadap PM ini disampaikan Direktur Operasional IMOCA Tjandra Tedja saat Focus Group Discussion yang diselnggarakan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Oktober lalu. "Kita bukan tidak mungkin akan melakukan judicial review kembali seperti yang pernah kita lakukan saat judicial review ke MA terhadap PM No.1/2009," kata Tjandra.
Menurut Tjandra, ada beberapa hal yang membuat pihaknya bermaksud menguji PM baru ini, seperti penyedia konten bukanlah penyelenggara telekomunik. Apalagi, katanya, sebagai penyelenggara jasa multimedia. "Dan dalam PM yang baru itu, yang pembayaran BHP dilakukan melalui oeprator, padahal oeprator bukanlah Kantor Perbendahraan negara," sesal Tjandra.
Yang juga membuat pihaknya bertanya-tanya adalah kewajiban membayar BHP berdasar pendapatan kotor. Ini, yang menurutnya, lebih berat dari pajak. "Pendapatan kotor itu artinya meski rugi tetap harus bayar. Kalau operator mungkin tidak masalah, tapi bagi CP tentu masalah," ungkap Tjandra.
Dalam kesempatan itu,, Tjandra juga ebrharap pihaknya diajak untuk mengawasi bisnis konten ini, termasuk mengawasi konten-konten yang nakal. "Only Ninja can kill Ninja, only hacker can catch hacker," kata Tjandra beristilah.