MAJALAH ICT – Jakarta. Presiden Joko Widodo menyatakan keprihatinannya terhadap merebaknya penyebaran berita bohong atau hoax dan ujaran kebencian menggunakan media sosial. Sementara itu, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian mengaku kesulitan untuk mengungkap kasus-kasus penyebaran berita hoax tersebut.
Demikian dikatakan Tito di Cimahi, Jawa Barat. “Antisipasinya kami akan meng-counter. Cuma sekarang repotnya mereka menggunakan mesin atau robot,” kata Tito.
Ditambahkannya, selain menggunakan mesin, Tito menduga banyak praktik-praktik jasa penyebaran berita hoax bayaran. “Ternyata ada juga mereka menggunakan jasa tenaga profesional. Mereka bisa bayar dan kontennya apa, bisa viral,” jelasnya.
Untuk melawan hox tersebut, Tito menyatakan bahwa Kepolisian RI pihaknya akan memaksimalkan dan meningkatkan kemampuan IT para anggota kepolisian agar bisa meminimalisir penyebaran berita-berita hoax yang meresahkan masyarakat. “Langkah kami tentu yang soft adalah meng-counter, menetralisir dan menyerang menggunakan teknik-teknik IT dan melakukan penegakan hukum dengan menangkap mereka,” pungkasnya.
Jika Kapolri mengaku kesulitan, Menkominfo Rudiantara mengklaim bahwa pemerintah bisa melacak dari mana sumber berita hoax dan ujaran kebencian berasal. Termasuk yang tersebar lewat aplikasi chatting seperti WhatsApp, Line dan BlackBerry Messenger. Hal itu karena pihaknya sudah mempunyai metode untuk melacak siapa pihak pertama yang menyebarkan informasi tersebut.
“Pokoknya, asalnya dari mana. Bisa ditelusuri ke belakang,” kata Rudiantara. Menurutnya, nantiny jika diperlukan, Kemenkominfo bisa melapor kepada kepolisian untuk melakukan penindakan hukum.
Dijelaskan Chief RA, pemantauan di aplikasi chatting ini lebih sulit dilakukan karena sifatnya lebih privat, tak seperti pemantauan di jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, dan Instagram. Namun, bukan berarti pemantauan tidak bisa dilakukan. Hanya saja, penanganan yang dilakukan berbeda.