MAJALAH ICT – Jakarta. PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) kembali memenangkan gugatan atas Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT Prima Jaya Informatika (PJI). PJI menggunat pailit Telkomsel di 2012 lalu dan sempat dimenangkan oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Namun kemudian Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan pailit tersebut. PT PJI tidak terima dan kembali mengajukan PK ke MA.
Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di Jakarta mengungkapkan, PK ini diputus pada 19 Juli 2013 oleh Ketua Majelis PK M Saleh didampingi Djafni Djamal dan I Made Tara sebagai anggota. "PK yang dimohonkan PT Prima Jaya dengan termohon Telkomsel dengan perkara nomor 30 PK/PDT.SUS/2012 putusannya ditolak. Putusan baru Jumat (19/7) kemarin, dan putusan masih dalam minutasi," ungkap Ridwan.
Dengan putusan ini artinya, MA tetap dengan putusan sebelumnya yang menganulir putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang menyatakan Telkomsel pailit. Gugatan pailit diajukan PT PJI kepada Telkomsel karena dinilai mangkir dari kewajibannya mengalokasikan voucher isi ulang dan kartu perdana, sementara di sisi lain Telkomsel menghentikan kerja sama dengan PJI. Gugatan PJI dimenangkan para hakim Pengailan Niaga.
Setelah putusan MA yang membebaskan pailit terhadap Telkomsel, Mahkamah Agung (MA) telah menjatuhkan sanksi terhadap empat hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menangani perkara gugatan pailit PT Telkomsel. Keempat hakim, yaitu Agus Iskandar, Bagus Irawan, Noer Ali dan Sutoto Adiputro, dinilai telah melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang ditetapkan MA dan Komisi Yudisial. Meskipun para hakim tersebut merasa keputusan tersebut idak adil dan mereka menjadi korban dari Telkomsel, namun jika ditelaah, ada kejanggalan terhadap keputusan pailit Telkomsel dan kewajiban membayar kurator hingga ratusan milyar rupiah.
Kejanggalan pertama adalah pada keputusan pailit yang dijatuhkan ke Telkomsel di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pada 14 September 2012 lalu, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menjatuhkan putusan pailit terhadap Telkomsel. Perusahaan seluler terbesar di Indonesia ini dinyatakan terbukti tak dapat membayar utang sebesar Rp.5,3 miliar kepada PT Prima Jaya Informatika (PJI).
Keputusan pailit ini dikatakan telah memenuhi unsur-unsur kepailitan yang termaktub dalam pasal 2 ayat 2 UU Kepailitan. Padahal, UU Kepailitan dibentuk untuk menjawab persoalan akibat krisis ekonomi dimana banyak perusahaan yang tidak mampu membayar utang, sehingga dipailitkan. Apalah Telkomsel dengan aset lebih dari Rp. 50 triliun tidak mampu membayar utang? Tentu dalam kasus bukan soal Telkomsel tidak mampu, tapi tidak mau karena utang yang diperdebatkan dengan PJI belum terjadi. Dan kalaupun menjadi putusan, harusnya diwajibkan saja Telkomsel membayar sesuai angka utang yang disebut PJI.
Kejanggalan lainnya, setelah pada 22 November 2012, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) atas gugatan pailit yang dimenangkan PT Prima Jaya Informatika di pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yang secara otomatis membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama (judex factie) yang memutuskan PT Telkomsel pailit, Pengadilan Negeri Niaga Jakarta Pusat kembali mengeluarkan Putusan bernomor 48/Pailit/2012/PN.Niaga JKT.PST jo No.704K/Pdt.Sus/2012 yang isinya menetapkan kewajiban Telkomsel untuk membayar fee kurator sebesar Rp 146,808 Miliar.
Angka tersebut berasal dari perhitungan 0,5% dikali total aset yang dimiliki Telkomsel sekitar Rp58,723 triliun, sehingga didapat Rp293.616.135.000. Angka ini kemudian dibagi menjadi dua, antara Telkomsel dengan Pemohon pailit yaitu Prima Jaya Informatika (PJI), sehingga masing-masing dibebani Rp146,808 miliar.
Tentu ini janggal. Ibarat kehilangan ayam, kemudian harus membayar sapi. Gara-gara utang Rp. 5,3 miliar, kemudian harus keluar Rp. 146,808 miliar. Kejanggalan terjadi karena Majelis Hakim yang memutuskan fee kurator ini adalah Majelis Hakim yang sama. Dan, sandaran hukum yang dipakai adalah sandaran hukum lama yang sudah dinyatakan tidak berlaku lagi karena keputusan Majelis Hakim keluar setelah terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 1/2013. Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.09-HT.05.10 Tahun 1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa bagi Kurator dan Pengurus tidak berlaku lagi karena berpotensi memeras perusahaan- perusahaan besar.
Perselisihan antara Telkomsel dan kurator nya, laksana api dalam sekam, belum selesai-selesai juga. Hal itu setelah Eks kurator Telkomsel, Feri S Samad dan kawan-kawan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. PK ini merupakan adalah lanjutan dari putusan PK Mahkamah Agung atas penetapan fee kurator.
Feri S Samad mengungkapkan bahwa keputusan MA soal fee yang mereka dapat justru tidak memberikan kepastian hukum bagi para pencari keadilan. Ia menambahkan ada pertentangan dan penyimpangan hukum, sehingga upaya hukum PK kedua dimungkinkan. "Pertimbangannya ngaco. PK di atas PK dimungkinkan karena ada penyimpangan hukum yang jelas dalam PK sebelumnya,” kata Feri.
Dijelaskannya, yang menjadi dasar pihaknya mengajukan PK atas PK adalah berdasar Surat Edaran Mahkamah Agung No. 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali. Maksud dari penerbitan edaran tersebut adalah untuk menciptakan kepastian dan keselarasan hukum, serta menghindari putusan PK yang saling bertentangan.
PK yang saling bertentangan tersebut terlihat dari putusan-putusan MA sejak 1998. Baik kasasi maupun PK, Mahkamah Agung selalu menyatakan tidak ada upaya hukum apapun terhadap penetapan honor kurator. Putusan PK No. 48 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013 ini membolehkan upaya hukum Peninjauan Kembali dan membatalkan penetapan imbalan honor kurator.
Pandangan senada terlihat dari putusan Mahkamah Agung dalam putusan kasasi No. 834/Pdt.Sus/2009 yang diajukan oleh Crown Capital Global Limited selaku pemohon pailit dan PT. Cipta Televisi Indonesia (TPI) selaku debitor. Kala itu, MA berpandangan tidak terbuka upaya hukum terhadap penetapan fee kurator.
Peninjauan kembali menurutnya juga termasuk sebagai upaya hukum bagi para pencari keadilan. Bukan itu saja upaya hukum yang akan ditempuh, Feri dan rekan-rekannya juga akan meminta pertimbangan dan pendapat Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 91 UU Kepailitan tersebut. Kemudian juga mengajukan judicial review terhadap Peraturan Menteri Hukum dan HAM No. 1 Tahun 2013 yang mengatur imbalan kurator. Dan juga, mengadukan hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkara ini ke Komisi Yudisial.
Kasus Hukum Terkait ICT di 2013 Lainnya:
1. Kasus Dugaan Penyalahgunaan Frekuensi oleh IM2-Indosat
2. Kasus Dugaan Kerugiaan Negara dalam Proyek MPLIK