MAJALAH ICT – Jakarta. Teknologi code division multiple access (CDMA) masuk ke Indonesia pada Desember 2002. Saat itu, CDMA banyak operator besar, Telkom untuk layanan fixed wirelesss access FWA). CDMA yang dari AS dianggap daripada teknologi seluler Eropa.
Menjelang habisnya 2013, layanan FWA meredup. Apalagi, teknologi CDMA yang sekarang dipakai sudah mentok dan tidak bisa bersaing dengan perkembangan teknologi lainnya. Alhasil, banyak pengguna mulai meninggalkan layanan dengan teknologi ini, terutama karena minimnya variasi dan ketersediaan handset.
Apalagi, kabarnya, vendor perangkat telekomunikasi sudah setahun terakhir tidak memproduksi CDMA lagi, artinya, operator bakal kesulitan mengembangkan jaringannya atau melakukan ekspansi ke daerah lain, belum lagi masalah ketersediaan handset yang juga sudah tidak dijual bebas selain lewat bundling.
Tanda-tanda kematian CDMA sudah terlihat sejak 2 tahun terakhir, saat operator CDMA mulai jungkir balik mempertahankan kinerja keuangannya meski pada akhirnya tetap menanggung kerugian dan utang yang besar.
Operator sebesar Telkom pun sudah berpikir ulang untuk melanjutkan bisnis CDMA. Melalui Flexi, Telkom memnag menyediakan layanan telepon tetap lokal dengan mobilitas terbatas atau dikenal dengan FWA berbasis CDMA.
Seiring dengan bisnis ini sudah tidak tumbuh, dan cenderung membawa kerugian bagi perusahaan, Telkom berniat untuk mematikan lini bisnis yang sebelumnya menjadi tumpuan harapan Telkom, selain Telkomsel yang menggelar layanan telepon seluler.
BUMN telekomunikasi itu mengaku CDMA sudah tidak membawa keuntungan bagi perseroan dan sejak awal 2013 sudah tidak melakukan investasi untuk pengembangan Flexi mengingat pertumbuhannya yang negative 15 persen.
Tak hanya Telkom, Smart Telecom dan Smartfren juga tengah berancang-ancang untuk migrasi ke Long Term Evolution (LTE) di pita frekuensi 2,3 GHz. Wajar saja, karena di pita 1.900 MHz sudah tidak prospektif lagi dan tidak mungkin menggelar LTE TDD bersebelahan dengan LTE FDD milik operator seluler 3G. Operator CDMA lainnya, seperti Bakrie Telecom, kondisinya lebih parah. Alih- alih membangun infrastruktur baru dan menambah jumlah pelanggan, operator tersebut justru mengurangi operasional sejumlah BTS-nya akibat diputus penyedia menara atau sebab lainnya. Pelanggannya pun terus mengalami penurunan.
Dalam tataran global, CDMA memang kalah pamor dengan GSM. Mungkin, hanya Jepang dan Korea sajalah yang masih setia dengan CDMA, mengingat mereka sendiri lah yang mengembangkan teknologi tersebut. Hanya, masalah interoperability dengan GSM atau 3G sampai LTE, mungkin masih terkendala.
Bila sudah demikian, maka regulator seharusnya memperhatikan fenomena matinya CDMA, terutama untuk keperluan penataan frekuensi ke depan, termasuk mengawasi tanggung jawab operator CDMA pada pelanggannya bila sesuai prediksi tahun ini, teknologi tersebut di shut down.
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 20-2014 di sini