MAJALAH ICT – Jakarta. Dunia siber Indonesia kembali diguncang skandal kebocoran data besar-besaran. Hacker misterius yang dikenal dengan nama samaran Bjorka mengklaim telah membocorkan data pribadi 341 ribu personel Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai bentuk “balasan” atas penangkapan seorang impostor oleh Polisi Siber Polda Metro Jaya. Insiden ini terjadi hanya dua hari setelah Bjorka merilis data tersebut secara gratis di situs NetLeaks pada Sabtu (4/10), memicu kekhawatiran nasional soal keamanan data aparat penegak hukum.
Menurut pakar keamanan siber Teguh Aprianto (@secgron) dari Ethical Hacker Indonesia, kebocoran ini berisi informasi sensitif seperti nama lengkap, pangkat, satuan tugas, nomor ponsel, dan alamat email personel Polri. Data tersebut, meski bukan versi terbaru, kini beredar bebas di internet dan dapat diakses publik, berpotensi membahayakan privasi serta keamanan ratusan ribu anggota Polri. “Polisi mengklaim menangkap Bjorka. Padahal yang ditangkap itu cuma faker alias peniru. Bjorka kemudian merespons dengan membocorkan 341 ribu data pribadi anggota Polri,” tulis Teguh di platform X, yang langsung viral dan menjadi sorotan netizen.
Peristiwa ini bermula dari penangkapan seorang pemuda berinisial WFT (22) di Desa Totolan, Kakas Barat, Minahasa, Sulawesi Utara, pada 23 September 2025. WFT, yang tinggal di desa dan tidak lulus SMK, diduga sebagai pelaku pembobolan 4,9 juta data nasabah bank swasta pada April 2025. Ia menggunakan identitas “Bjorka” sejak 2020, lengkap dengan akun X @bjorkanesiaaa, untuk memeras korban. Polda Metro Jaya mengumumkan penangkapan ini sebagai keberhasilan tim siber mereka, tetapi Bjorka asli segera merespons dengan sindiran pedas: “Anda cuma bisa tangkap saya dalam mimpi!”
Tak lama setelah itu, pada 4 Oktober 2025, Bjorka mengunggah file CSV berisi 341.800 entri data Polri di NetLeaks.net, disertai pesan provokatif yang mengejek penangkapan tersebut. Aksi ini disebut sebagai kritik tajam terhadap celah keamanan digital Polri dan pemerintah, yang dinilai masih rentan terhadap serangan siber. Beberapa analisis awal menunjukkan data ini berasal dari basis data lama, kemungkinan diretas melalui celah di sistem internal Polri.


















