MAJALAH ICT – Jakarta. Pemerintah cq Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berkomitmen menjaga keberlanjutan industri media sekaligus memastikan bahwa regulasi yang ada tidak akan mengekang kebebasan jurnalistik. Hal itu disampaikan Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria, saat menjadi salah satu pembicara pada Forum Pemred (FP) Talks bertajuk “RUU Penyiaran: Peran Negara Menjamin Keadilan Ekosistem Media”, di Antara Heritage Center, Jakarta.
Nezar Patria juga menegaskan pemerintah tetap menjunjung tinggi prinsip kebebasan pers dan tidak ingin revisi Undang-Undang Penyiaran justru mengekang ruang redaksi.
Pada diskusi ini turut dihadiri anggota Komisi I DPR Nurul Arifin, Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Utama Kementerian Hukum Onnie Rosleini, komisioner KPI Pusat I Made Sunarsa, dan dosen UMN sekaligus pemerhati media Ignatius Haryanto.
“Revisi Undang-Undang Penyiaran lagi dibahas di DPR, dan kita berharap pembahasannya juga bisa cepat, dan merangkum persoalan-persoalan yang sedang dialami oleh industri media sekarang ini,” ujar Nezar dalam siaran pers Forum Pemred, sehari setelah acara tersebut.
Sementara Nurul Arifin menyatakan bahwa proses legislasi RUU Penyiaran masih terbuka terhadap berbagai masukan publik. “Kami di DPR ingin mendengarkan semua pandangan, terutama dari komunitas pers dan media, agar regulasi ini bisa adil, akuntabel, dan tidak represif,” jelasnya.
Nurul juga menyoroti perbedaan definisi penyiaran konvensional dan konten digital seperti over-the-top (OTT) services, termasuk Netflix, YouTube, TikTok, dan sebagainya, yang belum sepenuhnya diakomodasi dalam regulasi saat ini.
“Jadi kita ingin supaya ini cepat terealisasi undang-undangnya cepat selesai, dan masih ada PR oleh karena itu kami akan sesegera mungkin mengundang platform digital yang besar, seperti Youtube, Netflix, dan TikTok, supaya kita menemukan satu kesepakatan, dan ini bisa dimasukkan juga ke dalam rancangan Undang-Undang Penyiaran,” kata Nurul.
Di sisi lain Onnie Rosleini juga menekankan pentingnya kejelasan definisi dalam RUU tersebut. Ia menyebut bahwa batas antara penyiaran dan platform digital perlu dijelaskan agar tidak terjadi tumpang tindih regulasi dengan Undang-Undang ITE.
Dari sisi regulator penyiaran, Komisioner KPI Pusat, I Made Sunarsa, menjelaskan bahwa lembaganya hanya mengatur lembaga penyiaran konvensional dan bukan platform digital seperti media sosial atau podcast.
“KPI tidak punya kewenangan mengatur konten digital seperti YouTube. Jadi perlu kehati-hatian dalam menentukan batas pengawasan,” ujar Made.
Sementara itu, Ignatius Haryanto menyampaikan keprihatinan atas beberapa pasal dalam RUU yang dinilai berpotensi mengancam jurnalisme investigatif. Ia menegaskan bahwa produk jurnalistik yang berlandaskan kode etik dan verifikasi tidak boleh dikriminalisasi.
Diskusi berlangsung interaktif dengan berbagai tanggapan dari peserta yang berasal dari kalangan jurnalis, mahasiswa, serta organisasi masyarakat sipil. Acara ditutup dengan harapan agar pembaruan regulasi penyiaran benar-benar adaptif, demokratis, dan berpihak pada kepentingan publik.