MAJALAH ICT – Jakarta. Sekarang ini di sektor komunikasi, khususnya media online, terdapat orang-orang bayaran (professional communicator) yang kerjaannya membuat berita dengan memalsukan fakta dan meme-meme pendukung. Mereka dibayar untuk memproduksi pesan supaya mendistorsi dan memanipulasi informasi yang ada di masyarakat agar menciptakan opini publik bahkan gerakan politik sesuai pesanan aktor politik yang berkepentingan di belakang layar. Bahkan ditengarai dana asingpun banyak mengalir utk menciptakan keadaan tertentu sesuai kepentingan mereka.
Demikian diungkapkan Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatia (Kominfo) Bidang Komunikasi dan Media Massa Henri Subiakto. Menurutnya, fakta-fakta palsu pesanan politik itu kemudian diberitakan serentak dan terus menerus di beberapa media online abal abal jaringan mereka, kemudian di-share oleh para buzzer yang sudah disiapkan sebagai pasukan siber.
“Di Amerika Serikat, komunikator profesional dibayar untuk bikin media abal-abal di internet untuk di-share dan dibenarkan oleh teman-teman buzzernya sudah cukup lama. Ryan Holiday menulis pengakuannya dalam buku “Trust me I am lying, The confession of an media manipulator“. Pengalaman Ryan inilah yang kemudian dicontoh dan dikembangkan di Indonesia. Sekarang media dan akun abal-abal jadi marak, membiaskan informasi di media sosial,” terang Henri.
Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga ini juga menambahkan, di masyarakat kita berita palsu yang sensasional, beserta meme buatan itu justru dianggap menarik dan disukai. Banyak warga masyarakat tidak peduli asal, sumber, kualitas apalagi kebenaran informasi yang mereka terima. Mereka yang punya sikap tidak kritis bahkan gemar ikut menyebarkan dan menganggap info-info palsu itu A1. Sehingga informasi-informasi buruk yang tidak benar tersebut akan menjadi “words of mouth” yang laris disebarkan.
“Terjadilah Ten Ninety Communication, komunikasi 10 : 90. Dimana hasil penyebaran komunikasi itu, justru 90% dilakukan suka rela oleh masyarakat yang suka pada informasi palsu itu. Sedang pelaku komunikasi politik yang sesungguhnya hanya melakukan 10% saja. Tapi hasilnya bisa menjadi kekuatan besar karena didukung “ketidaktahuan” masyarakat yang ikut menyebarkannya. Lewat mass self communication, informasi palsu itu tersebar, bahkan juga dikonfirmasi atau diperkuat oleh media-media abal-abal lain yang memiliki misi senada,” terangnya.
Hasilnya, kata Henri, banyak informasi palsu dianggap sebagai kebenaran oleh publik. “Saat informasi itu makin banyak di-share dan dibahas, maka orang-orang yang tidak sependapat, atau kritis pada kasus-kasus cenderung diam, karena menghindari “keributan”. Lama-lama suara yang membenarkan informasi palsu tersebut bisa mendominasi media sosial. Karena mereka yang tidak setuju cenderung makin diam (silent). Mereka khawatir sedang menghadapi “suara mayoritas”. Disitulah kemudian informasi palsu tersebut, tak hanya dianggap sebagai suara mayoritas, tapi juga menjadi nilai-nilai yang meresap dan mempengaruhi sikap politik,” jelas Henri.
Idealnya, memang harus ada counter propaganda yg mengungkap fakta-fakta. Sayangnya, tambahnya, gerakan kebaikan sering “kalah” dengan yang negatif. “Maka salah satu cara menangkalnya adalah, dengan tidak membiarkan kita menjadi korban propaganda politik yang akan memporak porandakan negeri ini. Saatnya setiap memperoleh informasi negatif, dicheck dulu siapa sumbernya? Terpercaya atau tidak? Kemudian dicheck isinya logis apa tidak? Apa isinya berbasis suudzon atau khusnudzon? Kalau justru mudzarotnya lebih banyak, sebaiknya tidak usah kita ikut-ikut nge-share informasi yang isi dan sumbernya tidak jelas. Kecuali kita sendiri memang bagian dari orang-orang yang mengharapkan kekacuan dan kehancuran negeri ini. Tapi apakah niat kita seburuk itu? Saya yakin tidak,” pungkasnya.