MAJALAH ICT – Jakarta. Dalam rangka pelaksanaan interkoneksi telekomunikasi dan implementasi tarif retail layanan telekomunikasi yang lebih baik, pemerintah berencana untuk melakukan penyempurnaan terhadap regulasi tarif dan interkoneksi. Teknis implementasi interkoneksi pada industri telekomunikasi Indonesia selama ini diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 tahun 2006 tentang Interkoneksi (PM 8/2006). Sementara itu, tarif layanan telekomunikasi melalui jaringan bergerak selular diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 tahun 2008 (PM 9/2008).
PM 8/2006 menjamin pelaksanaan interkoneksi yang transparan, non-disriminatif dan mengedepankan prinsip cost-based (sesuai biaya) yang dipandang lebih adil bagi para penyelenggara yang berinterkoneksi. Perhitungan biaya interkoneksi menggunakan metode perhitungan Bottom Up Long Run Incremental Cost (BU LRIC) dengan pendekatan Forward Looking. Penyempurnaan regulasi interkoneksi difokuskan pada pendetailan variabel-variabel dalam perhitungan biaya interkoneksi, implementasi interkoneksi antar penyelenggara serta pelaporan kepada regulator.
Sementara itu, PM 9/2008 mengatur besaran tarif telekomunikasi melalui jaringan bergerak selular. Penyempurnaan regulasi tarif diharapkan dapat mendorong penyelenggara untuk memberlakukan tarif yang lebih terjangkau oleh masyarakat, mencerminkan kompetisi yang sehat serta menjamin keberlangsungan perkembangan industri yang berkelanjutan. Konsep penyempurnaan mengedepankan perbaikan di formulasi tarif pungut layanan suara dan SMS, batasan tarif pungut, besaran tarif dan jangka waktu promosi, mekanisme kontrol serta pelaporan kepada regulator. Pemerintah juga menerima masukan dari masyarakat terhadap pengaturan tarif data akses internet, mengingat penggunaan akses internet pada beberapa tahun belakangan mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Dalam dukumen konsultasi publik yang ditandatangani Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kalamullah Ramli, salah satu kebijakan baru yang ditawarkan adalah adanya regionalisasi tarif interkoneksi. Kebijakan ini merupakan kebijakan baru setelah selama hampir tujuh tahun, biaya interkoneksi dihitung secara nasional.
Regionalisasi perhitungan data input biaya dalam perhitungan interkoneksi bertujuan untuk mengakomodir kekuatan sebaran jaringan yang berbeda antar penyelenggara di setiap daerah ke dalam perhitungan biaya interkoneksi nasional. Regionalisasi perhitungan juga dibutuhkan agar Pemerintah dapat mengetahui biaya jaringan per regional yang dikeluarkan oleh penyelenggara telekomunikasi dalam menyediakan layanan telekomunikasi, sehingga dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mengambil kebijakan-kebijakan yang dibutuhkan dalam upaya pemerataan jaringan telekomunikasi. Penyebaran demand layanan teleponi dasar tidaklah homogen dengan kerapatan pelanggan yang bervariasi cukup lebar. Semakin jauh Penyelenggara masuk ke dalam wilayah rural maka manfaat usaha yang didapat menjadi semakin berkurang, demikian halnya untuk wilayah bagian timur Indonesia.
Dari sisi model perhitungan tarif interkoneksi yang berlaku saat ini dimana pertumbuhan dan besaran investasi mengacu kepada suatu angka nasional serta memperhatikan adanya perbedaan besaran investasi dan operasi per wilayah, fokus pembangunan di setiap wilayah yang tidak sama serta adanya perbedaan tingkat pertumbuhan nasional dengan regional, pemerintah memandang perlu untuk mengubah model yang ada, yaitu dari model perhitungan dengan data input biaya elemen jaringan berbasiskan nasional menjadi model perhitungan dengan data input biaya elemen jaringan berbasiskan regional. Dengan begitu diharapkan besaran tarif interkoneksi yang diperoleh akan lebih mendekati nilai yang sebenarnya berdasarkan biaya dari tiap-tiap elemen jaringan di masing-masing regional. Manfaat lain yang didapat dari pemodelan regional adalah stake holder lebih dapat memahami kondisi dan permasalahan yang ada di setiap wilayah Indonesia, sehingga dengan demikian diharapkan kebijakan dan regulasi yang disusun dapat lebih cemat dan tepat sasaran.
Perbedaan biaya interkoneksi tentu akan berdampak terhadap tarif pungut atau tarif jual kepada masyarakat. Sebab, dalam rumus yang dikeluarkan pemerintah, dimana biaya interkoneksi adalah salah satu komponen pentarifan, maka tiap-tiap daerah atau regional akan berbeda tarif telekomunikasinya. Dan dikarena wilayah seperti Indonesia Timur memerlukan biaya ekstra, bukan tidak mungkin tarif telekomunikasi di Timur Indonesia akan lebih mahal dibanding wilayah lainnya.
Tarif Promosi
Dalam dokumen konsultasi publik Penyempurnaan Regulasi Tarif Dan Interkoneksi, pemerintah merekomendasikan pengaturan besaran tarif pungut untuk on-net dengan formula biaya elemen jaringan on-net + biaya aktivitas layanan retail + profit, sementara untuk tarif pungut off-net terdiri dari biaya elemen jaringan off-net + biaya aktivitas layanan retail + profit. Selain itu, direkomendasikan juga pengaturan batasan tarif pungut yang diperlukan dengan tujuan untuk tujuan melindungi pengguna dari tarif layanan yang terlalu mahal, mengurangi dan menghindari subsidi silang, melindungi penyelenggara dari persaingan yang tidak sehat dan menjamin pengembalian investasi penyelenggara untuk pertumbuhan industri telekomunikasi yang berkelanjutan. Pengaturan batasan tarif pungut yaitu dilakukan pembatasan selisih (delta) Maksimum antara Tarif Off-net dan Tarif On-net. Selisih (delta) maksimum = n% x tarif off-net, dimana n% < 100%. d. Terhadap besaran n% Pemerintah meminta masukan dari publik.
Pemerintah juga bermaksud mengatur promosi yang dilakukan oleh penyelenggara dengan tujuan membentuk iklim persaingan usaha yang sehat, mendorong pertumbuhan industri yang berkelanjutan dan melindungi pengguna dari promosi yang tidak transparan. Pengaturan promosi yang direkomendasikan Pemerintah dalam whitepaper ini adalah besaran tarif promosi tidak dibatasi untuk memberikan kesempatan bagi masyarakat memanfaatkan tarif layanan yang semurah-murahnya, periode promosi dibatasi untuk menjaga iklim kompetisi yang sehat dan keberlangsungan industri. Penyelenggara dominan diperkenankan melakukan promosi paling banyak selama 60 (enam puluh) hari kalender dalam 1 tahun berjalan (dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember). Penyelenggara non dominan diperkenankan melakukan promosi paling banyak selama 90 (sembilan puluh) hari kalender dalam 1 tahun berjalan. Kemudian apabila penyelenggara melanggar batas promosi, maka Pemerintah akan menghentikan promosi yang dilakukan dan memberikan sanksi kepada penyelenggara tersebut. Sanksi dapat berupa pemangkasan batas periode promosi maksimum penyelenggara tersebut pada tahun berikutnya sesuai dengan jumlah waktu pelanggaran. Waktu promosi tidak dapat dialihkan ke tahun selanjutnya. Pemerintah akan secara berkala mengevaluasi ketentuan promosi ini.
Untuk transparansi promosi, penyelenggara harus menginformasikan promosi yang dilakukan, baik berupa laporan kepada Pemerintah maupun penjelasan kepada pengguna. Promosi yang dilakukan harus dipublikasikan dengan jelas dan mudah dimengerti. Syarat dan ketentuan yang berlaku harus langsung dijelaskan dalam promosi pada berbagai media promosi, tanpa pengguna harus terlebih dahulu mengakses informasi pada tempat lain, misalnya pada website penyelenggara. Selain itu, penyelenggara tidak diperkenankan memberikan promosi pada pengguna baru saja. Hal ini bertujuan untuk mengurangi pemborosan penggunaan nomor yang disebabkan pengguna berganti-ganti nomor (starter pack). Penyelenggara diperkenankan memberikan promosi khusus kepada pelanggan lama, dengan tujuan untuk mempertahakan loyalitas dari pelanggan. Kemudian, setelah periode promosi berakhir/habis, penyelenggara kembali menerapkan tarif pungut normal.
Dari rencana kebijakan baru pemerintah ini, nampaknya perlu ada mengevaluasi kembali metode penghitungan Long Run Incremental Cost (LRIC), sebab dalam banyak adopsi di beberapa negara tidak lagi menggunakan bottom up tetapi pure LRIC. Bahkan mengingat unsur legacy sudah 10 tahun berlalu, maka perlu diubah menjadi metode berdasar COST atau maksimal COST+ saja.
Hal lainnya yang belum terjawab adalah arah kebijakan interkoneksi yang berbasis internet protocol (IP) hal ini mengingat saat ini beberapa penyelenggara sudah ada yang mulai mengimplementasikan interkoneksi berbasis IP. Banyak negara kini sudah menerapkan kebijakan IP based interconnection.
Tulisan ini dan informasi menarik lainnya seputar perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 31-2015 di sini