Search
Rabu 13 November 2024
  • :
  • :

Kolom: Daftar Negatif Investasi dan Pembangunan Telekomunikasi Indonesia

oleh: HERU SUTADI*

Pemerintah berencana untuk mengubah aturan mengenai Daftar Negatif Investasi (DNI) di beberapa sektor, termasuk sektor telekomunikasi. Ini artinya pemerintah akan merevisi Peraturan Presiden No. 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Aturan DNI ini, meski masih dalam tahap penggodokan, namun sudha menyebutkan bahwa DNI sektor telekomunikasi akan diubah menjadi 65% untuk layanan fixedline, multimedia dan telepon bergerak seluler. Artinya, asing dapat memiliki saham secara langsung hingga 65% kepemilikan saham dalam perusahaan telekomunikasi untuk izin-izin tersebut.

Memang belum jelas aturannya akan seperti apa, namun sesungguhnya aturan 65% sudah diberlakukan untuk layanan telepon bergerak seluler. Pun, yang diatur adalah kepemilikan saham langsung dan tidak berlaku untuk perusahaan terbuka yang mencatatkan diri di bursa saham. Sesuai Ketentuan Pasal 4 Perpres No.36/2010 tersebut, aturan DNI tidak berlaku bagi penanaman modal tidak langsung atau portfolio yang transaksinya dilakukan melalui pasar modal dalam negeri. Sehingga, pernah dalam kasus Indosat yang dibeli Qatar melampaui 65% diizinkan Menteri Keuangan karena Indosat merupakan perusahaan terbuka yang mana perubahan pemegang saham di lantai bursa tidak dapat ditentukan pemerintah.

Jika melihat bidang usaha yang telah dibuka pada ambang batas minimal 65%, sudah cukup banyak jenis usaha yang dibuka. Seperti untuk Jaringan Bergerak satelit, Jaringan Bergerak seluler, Network Access Point (NAP) dan  JaringanTetap Tertutup yang sudah dibuka hinga 65%. Bahkan untuk Sistem Komunikasi data dan Lembaga Pengujian Perangkat Telekomunikasi sudah terbuka untuk asing sebesar 95%.

Sementara yang masih kurang dari 65% untuk investasi asing seperti Internet Service Provider (ISP),  Internet Teleponi untuk Keperluan Publik (ITKP), Jasa Multimedia serta Jaringan Tetap Lokal baik berbasis kabel maupun nirkabel (FWA) dimana-mana maksimal adalah 49%. Sementara untuk penyediaan menara telekomunikasi masih harus tertutup alias 100% untuk perusahaan nasional.

Berkaitan dengan pembukaan beberapa bidang usaha menjadi lebih besar, yang pertama perlu dikedepankan adalah apa urgensinya membuka menjadi lebih besar, hingga 65%, dengan melihat pasar yang ada terkait dengan bidang usaha tersebut. Misalnya saja, untuk fixedline atau telepon tetap, apakah dengan menambah persentase asing usaha yang arahnya kian menurun pendapatan dan penggunanya perlu dilakukan.

Dan kedua, tentunya adalah setelah dibuka apa yang dilakukan pemerintah melindungi investasi. Kasus IM2 dan Indosat yang dibawa hingga ke Pengadilan Tipikor menegaskan bahwa  kepastian investasi dan perlindungan investasi asing menjadi dipertanyakan. Begitu juga dengan berlarutnya merger keputusan proses XL-AXIS, menandakan regulasi kita tidak siap mendukung kondisi usaha dan pasar yang bergerak dinamis dan cepat. Bahkan, parahnya, ada pejabat tinggi pemerintah setingkat Menteri yang menyuarakan soal perusahaan nasional perlu diutamakan di tengah posisi yang seharusnya sebagai wasit yang fair bagi semua pemain, baik asing maupun lokal.

Adalah hal yang tidak elok ketika Indonesia untuk  di satu sisi mengundang asing untuk investasi, namun di sisi lain seolah-olah menjadikan orang asing yang berinvestasi sebagai musuh. Sebab, jika begitu, untuk apa kita bersusah mengubah kebijakan dan membuat seolah-olah terbuka untuk investasi, dimana padahal kita tidak menjadikannya mitra strategis membangun Indonesia ke depan yang lebih baik. Apalagi sektor telekomunikasi yang padat modal dan teknologi yang cepat berganti.

*Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute

Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 18-2013 di sini