Oleh: NONOT HARSONO*
Amat penting untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian, segera menghentikan sesuatu yang salah, dan tidak mengulanginya lagi. Tidak terkecuali dalam kasus maha penting di sektor telekomunikasi yang saat ini sedang terjadi. Kasus pertama, Telkomsel yang amat sehat dan paling sehat dipailitkan oleh pengadilan niaga gara-gara sengketa wan prestasi.
Kasus kedua, PT IM2 yang memanfaatkan jaringan seluler milik PT Indosat didakwa wajib membayar biaya hak penggunaan pita frekuensi radio (sebesar yang telah dibayarkan oleh Indosat), gara-gara paham salah tentang menggu-nakan frekuensi. Sangkaan kewajiban membayar BHP-frekuensi ini lalu didakwakan sebagai tindak pidana korupsi dua korporasi dan Dirut kedua korporasi. Dari dua kasus itu, banyak pelajaran yang bisa didapat, andai saja semua berpikiran sama tentang bagaimana menuju Indonesia Raya. Pada bagian ini akan dibahas gambaran suasana sidang pangadilan Tipikor yang menampakkan adanya kerancuan dan kejanggalan. Seluruh saksi dan ahli yang dihadirkan dikabarkan tidak ada yang mendukung dakwaan.
Pengadilan Tipikor untuk kasus IM2 telah bersidang sekitar 12 kali sejak 14 Januari 2013. Pihak jaksa penuntut umum (JPU) telah menghadirkan belasan saksi dan 2-ahli telekomunikasi. Beberapa catatan penting yang perlu dicermati adalah sebagai berikut:
- Belasan saksi dihadirkan untuk memberikan keterangan apakah IM2 menggunakan frekuensi. Jadi belasan kali sidang dengan belasan saksi dan 2-ahli yang telah berlalu hanya menggali kete-rangan apakah IM2 menggunakan pita frekuensi milik Indosat. Pengadilannya adalah pengadilan tipikor, tetapi substansi yang diperkarakan adalah beda persepsi tentang penggunaan frekuensi secara bersama (frequency-sharing).
- Sidang belum menggali keterangan terkait unsur tindak pidana korupsi, siapa melakukan tipikor (korporasi atau para Dirut), kaitan sangkaan menggunakan frekuensi dengan dakwaan tindak pidana korupsi, bagaimana membuktikan sangkaan kurang-bayar biaya hak penggunaan frekuensi sebagai tindak pidana korupsi, dan banyak lagi pertanyaan yang harus dibuktikan dalam sidang pengadilan ini.
- Sidang pengadilan tipikor ini sejatinya adalah untuk mengadili apakah pak Indar Atmanto (selaku mantan Direktur Utama PT IM2) telah melakukan tindak pidana korupsi. Namun tanya-jawab yang terjadi adalah apakah IM2 menggu-nakan frekuensi.
Kasus yang mengundang Pertanyaan
Kasus dakwaan tipikor yang satu ini memang menimbulkan banyak reaksi dan pertanyaan dari banyak kalangan. Beberapa pertanyaan antara lain adalah sebagai berikut:
- Ada tuduhan bahwa kerjasama antara penyelenggara jaringan dengan penyelenggara jasa telekomunikasi melanggar regulasi Telekomunikasi. Kenapa yang menangani adalah Kejaksaan Agung, bukan Kementerian Kominfo?
- Yang dipersoalkan adalah kerjasama antara dua perusahaan, kenapa di pengadilan tersangkanya hanya satu orang mantan Dirut? Bukankah lisensi usaha telekomunikasi itu melekat pada badan usaha, bukan pada Dirut?
- Menteri Kominfo sebagai Pembina dan regulator penyelenggaraan telekomunikasi telah menyatakan tidak ada pelanggaran regulasi dalam kerjasama dua perusahaan itu, kenapa Kejaksaan mengabaikannya?
- Kenapa BPKP lebih memilih berpihak kepada Kejaksaan dan turut mengabaikan penjelasan Kementerian Kominfo? Kenapa pula BPKP dan Kejaksaan mengabaikan UU Telekomunikasi yang amat jelas mengatur tugas negara untuk urusan telekomunikasi diamanahkan kepada Kemkominfo?
- Komunitas telekomunikasi telah pula memberikan masukan dan pandangan kepada Pemerintah, namun tampak tidak ada respon. Apakah Pemerintah tidak paham bahwa kasus ini amat besar dampaknya bagi tatanan regulasi telekomunikasi dan akan amat merugikan perekonomian negara?
Kasus yang sejak awal telah menimbulkan banyak pertanyaan, dibawa paksa ke pengadilan tipikor, sehingga menyajikan perdebatan, tanya-jawab, dan suasana pengadilan yang tidak menggambarkan sebuah pengadilan tipikor. Suasana yang tampak lebih tepat disebut debat kusir penggunaan jaringan seluler yang persepsikan sebagai penggunaan pita frekuensi secara bersama. Belasan kali sidang, substansi tanya-jawab antara JPU, saksi/ahli, dan penasihat hukum selalu selalu sama yaitu apakah PT IM2 meng-gunakan pita frekuensi milik Indosat. Sedangkan peran TSK dalam perkara ini belum nampak tanda-tanda kapan akan dipertanyakan dan diadili.
Maka wajar bila muncul pertanyaan, “sidang ini untuk mengadili siapa; TSK atau IM2?”. Bila urutan pembuktiannya memang harus dimulai dengan IM2 menggunakan frekuensi, setelah itu mendalami apakah perbuatan menggunakan frekuensi itu adalah tindak pidana, kemudian membuktikan apakah tindak pidana ini termasuk tindak pidana korupsi, baru kemudian mendalami peran TSK-IA dalam penggunaan frekuensi; rasanya sidang ini akan selesai dalam waktu yang lama. Sungguh akan amat banyak waktu, tenaga, pikiran, dan biaya yang terbuang untuk kasus ini. Layakkah ini semua terjadi? Apakah negara Republik Indonesia ini memang menginginkan pola penegakan hukum yang seperti ini?
Sejak awal sudah Janggal
Sejak penjelasan BRTI kepada tim Kejati Jabar diabaikan dan kasus naik ke tingkat penyidikan di Kejagung dengan tim penyidik yang sama, kasus ini telah menimbulkan kegalauan di banyak kalangan pelaku usaha, asosiasi, dan regulator telekomunikasi. Banyak kejanggalan yang ditampakkan selama 1.5 tahun kasus ini berjalan. Beberapa yang bisa dicatat adalah sebagai berikut:
- Pembawa surat panggilan Kejati Jabar untuk BRTI diantarkan oleh pihak Pelapor. Kemudian karena ditolak, lalu diantarkan sendiri oleh Jaksa kasi intel Karawang yang membawa laporan LSM ke Kejati Jabar.
- Selama proses penyelidikan, jaksa pengantar surat ini yang paling aktif bertanya dan tampak paling banyak mengadopsi alur pikir LSM pelapor. Hingga kasus ini diambil alih oleh Kejagung, jaksa penyelidik ini menjadi penyidik bersama beberapa jaksa dari Kejati Jabar. Bahkan JPU pun adalah orang yang sejak di Kejati Jabar mengawal kasus ini.
- Gelar perkara di Kejagung tidak melibatkan Regulator/ Kominfo sehingga memberi kesan seolah regulator tidak ada. Kemudian regulator dipanggil sebagai saksi. Banyak pejabat Kemkominfo dipanggil sebagai saksi dan semuanya menyatakan tidak ada pelanggaran regulasi.
- Kejagung menetapkan tersangka mantan Dirut PT IM2 dengan judul perkara “Tipikor penggunaan jaringan seluler pita 2.1GHz generasi ketiga (3G) oleh IM2 dan Indosat”. Padahal perbuatan yang disangkakan adalah perbuatan korporasi, bukan perbuatan individu.
- Regulator berkirim surat kepada Kejaksaan Agung memberi keterangan resmi bahwa tidak ada pelanggaran regulasi dalam skema bisnis kerjasama antara penyelenggara jasa dengan penyelenggara jaringan seluler. Namun Kejaksaan Agung mengabaikan dan meneruskan pemberkasan surat dakwaan. Alasannya adalah karena BPKP telah menghitung angka kerugian negara, dimana angka ini hanya bisa muncul bila IM2 disimpulkan telah menggunakan frekuensi radio.
- Tim penyidik menjadi tim JPU (jaksa penuntut umum) dan melimpahkan berkas perkara kepada Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Perkara dan TSK diumumkan pada tanggal 13 Januari 2012, dan sidang pertama Tipikor digelar pada tanggal 14 Januari 2013.
Menarik untuk dicermati kenapa semua kejanggalan dan kerancuan itu bisa terjadi. Penyebab utamanya adalah pengabaian terhadap pembagian tugas negara yang telah ditetapkan dalam UU Telekomunikasi (UU 36 tahun 1999) dan UU Kejaksaan RI (UU 16 tahun 2004). Sudah amat jelas bahwa urusan telekomunikasi di-serahkan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika dan sudah amat jelas pula bahwa Kejaksaan dalam melaksanakan kewenangannya wajib menghormati instansi pemerintah lainnya dalam rangka mewujudkan sistem peradilan terpadu.
BERSAMBUNG… klik di sini
*Nonot Harsono adalah Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi Indonesia pada Bad Regulasi Telekomunikasi Indonesia.