MAJALAH ICT – Jakarta. Inti persoalan kasus IM2-Indosat adalah PT IM2 yang menyediakan jasa akses internet melalui media gelombang radio (jaringan seluler) milik PT Indosat dipahami sebagai menggunakan frekuensi. Beberapa orang awam mungkin akan sependapat karena mereka menggunakan logika pribadi masing-masing, bukan logika Undang-Undang Telekomunikasi.
Konteks pemikirannya sama seperti ketika seseorang menggunakan handphone, lalu dikatakan “orang itu menggunakan frekuensi, sama seperti orang yang menggunakan HT-Orari”.
Dalam konteks Jaringan Seluler atau pun jaringan radio lainnya, pemahaman di atas adalah keliru. Paham keliru ini akan menjadi amat berbahaya apabila ada di benak aparat penegak hukum. Kenapa berbahaya?
Wajib Membayar
Karena di dalam UU Telekomunikasi, pihak (badan usaha) yang “menggunakan” frekuensi wajib membayar biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yg nilainya Triliunan rupiah.
Sehingga apabila pemahaman awam ini diterapkan ke dalam dunia usaha telekomunikasi, maka badan usaha dan/atau orang yang tidak bersalah akan tiba-tiba dianggap wajib membayar BHP-frekuensi yang triliunan dan tidak mungkin mampu dibayar.
Semua ahli telekomunikasi telah menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh IM2 adalah memanfaatkan jaringan seluler milik Indosat. Dalam UU Telekomunikasi, badan usaha yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi disebut sebagai Penyelenggara-Jasa Telekomunikasi. Tentu saja semua Penyelenggara Jasa Telekomunikasi harus bekerjasama dengan pemilik jaringan yang di dalam UU Telekomunikasi disebut sebagai Penyelenggara Jaringan.
Kalau tidak melalui jaringan telekomunikasi, bagaimana bisa menyediakan Jasa telekomunikasi untuk masyarakat. Bila tidak melalui jaringan telekomunikasi, bagaimana menghubungkan jutaan pelanggan jasa telekomunikasi ke beragam layanan yang diinginkan?
Regulator dan Menteri Kominfo telah menjelaskan bahwa PT IM2 tidak menggunakan pita frekuensi yang dialokasikan untuk PT Indosat Tbk.
Kasus IM2-Indosat ini merupakan pertaruhan besar bagi para pelaku usaha telekomunikasi dan seluruh masyarakat Indonesia.
Nasib industri telekomunikasi dan wibawa Pemerintahan bergantung pada kearifan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor yang mulia.
UU Telekomunikasi yang “dikalahkan” dengan UU Tipikor, Regulator Telekomunikasi yang diabaikan eksistensinya dalam tatakelola negara, substansi perkara yang amat teknis dan jauh dari tipikor, bagaimana memvonis TSK orang tanpa mengadili keterlibatannya dalam perkara yang didakwakan.
Semoga majelis hakim diberi kekuatan dan kelapangan pikiran dalam memandang dan menilai kasus ini, demi kejayaan NKRI.
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 11-2013 di sini