Oleh : HERU SUTADI*
Dalam kompetisi yang demikian ketat, interkoneksi—ketersambungan secara fisik maupun sistem—memegang peranan penting. Interkoneksi dapat dikatakan menjadi pilar dari kompetisi itu sendiri. Bayangkan jikalah satu operator tidak dapat terhubung dengan operator lainnya, atau jika ada operator yang menutup diri dari operator lainnya, maka yang terjadi adalah operator tersebut hanya bak jaringan intercom raksasa, pengguna hanya bisa menghubungi pengguna lainnya dalam satu operator yang sama saja.
Aturan mengenai interkoneksi di Indonesia dikembangkan dengan prinsip adil, transparan, dengan waktu yang jelas dan berbasis biaya. Aturan ini berdasar Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 8 tahun 2006.
Meskipun, bahkan karena sudah lebih dari 5 tahun (sekarang berarti sudah 7 tahun), seyogyanya aturan ini segera diformulasikan kembali. Ada beberapa alasan reformulasi, yang salah satunya adalah arah perkembangan telekomunikasi yang berbasis internet protocol (IP). Penghitungan biaya network elemen untk berbasis IP tentu berbeda dengan penghitungan berbasis packet maupun circuit switch. Transfer pulsa antaroperator, sebenarnya sudah mengarah pada pemanfaatan interkoneksi berbasis IP ini.
Dari diskusi yang berkembang, PM No.8/2006 perlu disesuaikan dengan perkembangan terkini dari industri telekomunikasi. Seperti, kewajiban penyampaian Regulatory Finance Report (RFR) setiap tahun. Karena perhitungan tidak dilakukan setiap tahun, kewajiban ini perlu ditinjau kembali mengingat usaha yang diperlukan untuk menyampaikan RFR sangat besar, apalagi di sisi lain, penghitungan biaya interkoneksi dengan metode forward looking LRIC, sebenarnya tidak memerlukan penghitungan biaya interkoneksi setiap tahun, melainkan memakai prediksi yang dihasilkan dari LRIC tersebut untuk beberapa tahun ke depan.
Selain soal penyampaian, perlu juga ada perubahan dalam hal standar akuntasi yang digunakan. Ada usulan bahwa template penyampaian Daftar Penawaran Interkoneksi serta RFR dengan standar akuntansi Indonesia.
Mengenai acuan metode penghitungan berbasis Long Run Incremental Cost (LRIC), metode ini tetap dapat digunakan. Namun apakah tetap seperti forward looking LRIC (FL LRIC) dengan bottom up atau pure LRIC, ini yang perlu dielaborasi lebih jauh mengingat kondisi Indonesia yang agak berbeda.
Soal aturan mengenai titik interkoneksi (POI) maupun titik pentarifan (POC), juga diwacanakan untuk diatur kembali. Hal ini karena saat ini terjadi ketidakefisienan penyelenggaraan interkoneksi. Pengaturan baru diperlukan untuk penentuan penyelenggara dominan dievaluasi juga baik kriteria penentuan maupun pendapatan kotor (gross revenue) pada angka 25% mengingat penguasaan satu operator yang saat ini mencapai lebih dari 50%.
Dan terutama yang cukup penting adalah agar regulator segera mengatur dan mengeluarkan kebijakan IP based interconnection. Penggunaan interkoneksi berbasis IP sudah sangat umum sekarang ini. Dengan teknologi berbasis IP, maka interkoneksi juga seharusnya bisa lebih murah, tidak seperti sekarang ini. Selain murah, di beberapa negara interkoneksi berbasis IP juga menawarkan model interkoneksi yang berbeda, yang tidak berbasis biaya lagi, melainkan seperti bill and keep, yang di Indonesia pernah diaplikasikan pada SMS dengan metode sender keep all, maupun berbasis kualitas.
*Heru Sutadi – Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 15-2013 di sini