Oleh: HERU SUTADI
Dikabarkan bahwa XL Axiata akan melakukan konsolidasi dengan Axis Telekom Indonesia. Wacana pun mengemuka, dari soal situasi industri telekomunikasi saat ini, hingga frekuensi yang telah dialokasikan untuk kedua perusahaan penyelenggara layanan bergerak seluler tersebut.
Dari diskursus yang berkembang, yang patut dikedepankan adalah bahwa nasib industri telekomunikasi saat ini sudah tidak sehat. Mengapa dikatakan demikian? Hal itu karena penyelenggara telekomunikasi yang banyak jumlahnya ini, saat ini tidak semuanya mendapatkan pendapatan dan keuntungan seperti diharapkan. Di tahun 2012, seperti sudah pernah disampaikan Bakrie Telecom misalnya, harus menanggung kerugian sekitar Rp. 3 trliun, kemudian SmartFren yang rugi hingga Rp. 1 triliun. Operator lain, meski tidak secara terbuka juga tidak dalam kondisi yang baik untuk sebuah usaha yang padat modal.
Hal ini diperkuat dengan apa yang disampaikan Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) bahwa EBITDA margin operator bergerak dari +56% hingga -50%. Jika hanya tiga besar yang berpendapatan positif, maka secara industri EBITDA margin sektor telekomunikasi secara adalah negatif. Dengan kondisi ini, konsolidasi antara yang untung dan yang rugi memang wajar terjadi.
Frekuensi dan Preseden
Diskursus konsolidasi kemudian juga mengarah pada alokasi frekuensi. Dikatakan bahwa jika terjadi konsolidasi, peleburan atau akuisis, frekuensi wajib dikembalikan pada negara. Pendapat tersebut, sangat tidak berdasar. Memang PP No. 53/200 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit, pada Pasal 25 ayat (1) dinyatakan “Pemegang alokasi frekuensi radio tidak dapat mengalihkan alokasi frekuensi radio yang telah diperolehnya kepada pihak lain.” Namun, jangan dilupakan ayat (2) dari Pasal ini menyatakan “lzin stasiun radio tidak dapat dialihkan kepada pihak lain kecuali ada persetujuan dari Menteri”. Sehingga, tidak ada ketentuan bahwa frekuensi ditarik oleh pemerintah, karena cukup meminta ijin saja dari Menteri.
Dan posisi Menteri, dengan melihat kondisi terkini dari industri telekomunikasi, sebagai Pembina industri pemerintah seyogyanya menyelematkan kondisi industri yang tidak sehat dan memberikan insentif bagi operator yang ingin konsolidasi, melakukan peleburan maupun akuisisi. Apalagi, masalah konsolidasi, peleburan maupun akuisi bukan yang pertama terjadi.
Preseden seperti Indosat yang mengambil Satelindo, tidak ada pengembalian fekuensi termasuk kode akses internasional (SLI) 008, sehingga Indosat memiliki 001 dan 008. Kemudian ada juga Bakrie Telecom yang konsolidasi dengan Sampoerna Telecom Indonesia, kemudian saling silang antara Smartfren dan Smar Telecom. Dan yang mutakhir adalah masuknya 80% saham CT Corp ke TelkomVision yang menguasai 200 MHz frekuensi di 3,5 GHz untuk televisi berlangganan berbasis satelit. Tidak ada satupun penyelenggara mengembalikan atau ditarik frekuensinya.
Jika berdasar UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi dan turunannya serta UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang perlu dievaluasi dari perusahan yang melakukan konsolidasi, peleburan atau akuisisi adalah apakah perusahaan tersebut saat ini masuk sebagai penyelenggara dominan dan mendistorsi pasar. Untuk seluler, dengan pendapatan lebih dari 25% pasar saat ini yang jadi operator dominan adalah Telkomsel. Sementara monopoli berdasar ketentuan UU No. 5/1999 adalah menguasai 50 persen lebih dari pangsa pasar.
Jika tak ada pelanggaran, sebaiknya konsolidasi jangan dihambat. ATSI sendiri menyatakan bahwa yang ideal jumlah operator hanyalah empat hingga lima operator saja. Dan proses yang terjadi sekarang ini, arahnya adalah mengidealkan pemain secara alami, business-to-business.
*Heru Sutadi adalah Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Pengamat Telematika.