Oleh: Resa Raditio*
Rencana akusisi dan merger dua operator seluler yakni PT. XL Axiata dengan PT Axis Telekom Indonesia ditanggapi beragam oleh berbagai pihak. Menkominfo mendukung rencana tersebut dan menganggap bahwa upaya tersebut sebagai konsolidasi sehingga jumlah operator yang ada bisa lebih ramping. Selain itu langkah tersebut tentunya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Direktur Jenderal Sumber Daya PPI Kemenkominfo menyebutkan bahwa terkait dengan rencana tersebut maka “Spektrum Frekuensi” harus dikembalikan kepada Pemerintah (Vivanews, 26/7/2013).
Sementara itu sejumlah pakar hukum dan teknologi telekomunikasi maupun para pengamat menekankan bahwa rencana akuisisi dan merger hendaknya dilakukan dengan melihat persoalan tersebut secara komprehensif dan mampu memberikan manfaat. Dengan kata lain, tidak menimbulkan dampak negatif bagi pelaku usaha yang lain maupun terhadap industri dan kalangan konsumen telekomunikasi secara keseluruhan. Selain itu, merger XL-Axis dianggap tak otomatis menyatukan lisensi spektrum yang dimiliki kedua perusahaan tersebut (Dr. Edmon Makarim, Detik.com, 26/8/2013). Dengan demikian, sejalan dengan pendapat Dirjen SDPPI Dr. M. Budi Setiawan, beberapa pakar berpendapat bahwa perusahaan yang di-merged harus mengembalikan spektrum frekuensinya kepada Pemerintah (Diskusi Terbuka Merger dan Akuisisi Dalam Industri Telekomunikasi, Antaranews, 3/9/2013).
Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, Pemerintah selayaknya menjadikan perkembangan dan dinamika yang terjadi pada dua operator di atas dengan kemungkinan terjadinya pengembalian spektrum sebagai momentum penataan ulang spektrum frekuensi nasional yang sangat terbatas serta memiliki nilai penting dan strategis.
Penataan yang dimaksud adalah terkait dengan berbagai aspek pengelolaan spektrum frekuensi nasional terutama pengembangan kebijakan mengenai penerapan Pembatasan spektrum yang dimiliki oleh setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi yang dikenal dengan istilah rebalancing spectrum.
Pertanyaannya kemudian, Apakah kebijakan penerapan rebalancing spectrum merupakan hal relevan, penting dan bermanfaat sehingga dapat dijadikan alternatif dalam memperkuat konsolidasi dan penataan spektrum frekuensi nasional? Sejauh mana kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku memberi peluang penerapan rebalancing spectrum? serta bagaimana cara rebalancing (penataan) spektrum frekuensi yang sesuai dan adil ?
Di bidang peraturan perundang-undangan, Pemerintah saat ini mempunyai kekosongan hukum dalam penerapan aturan soal rebalancing spectrum. Tidak hanya itu, bahka roadmap industri telekomunikasi indonesia saja tidak punya. Maka dari itu sudah seharusnya mendesak Pemerintah (Kemenkominfo) terkait dengan rebalancing spectrum ini membuat suatu aturan yang tertuang dalam bentuk Keputusan Menteri (Kepmen) atau Peraturan Menteri (Permen) untuk menutupi kekosongan hukum tersebut. Secara substantif, suatu aturan yang dibuat nanti oleh Pemerintah dalam bentuk Kepmen atau Permen itu harus mengakomodir antara lain kebutuhan industri, perlindungan konsumen dan persaingan usaha yang tidak sehat. Sedangkan payung hukum untuk aturan tersebut adalah pendekatan dari UU Telekomunikasi, UU Persaingan Usaha Tidak Sehat dan UU Perlindungan Konsumen.
Kemudian jika di lihat dari sisi pengelolaan spektrum frekuensi, equality treatment efficiency/setara (ETE) mungkin lebih cocok untuk pengelolaan spektrum frekuensi. ETE itu ketika ada operator-operator yang butuh frekuensi harus di uji dulu kebenarannya oleh Pemerintah (dalam hal ini Kemenkominfo), apakah memang benar membutuhkan spektrum? dan membutuhkan spektrum yang mana? (900 MHz/1800 MHz ?) dan kemudian untuk apa tambahan spektrum tersebut?. Setelah di uji kebenarannya, kemudian frekuensi tersebut dibagi rata kepada beberapa operator, itu baru namanya rebalancing spektrum frekuensi yang sesuai dan adil.
Dengan demikian diharapkan rebalancing spektrum (penataan spektrum) tidak hanya dibutuhkan pada saat-saat ini saja tetapi jauh untuk kebutuhan masa depan industri telekomunikasi di Indonesia. Segala roadmap serta peraturan-perundang-undangan terkait telekomunikas harus segera dipikirkan mulai dari saat ini dan untuk mempersiapkan kebutuhan di masa yang akan datang.
*Resa Raditio, SH., MH. Partner / Lawyer at Sulaiman N. Sembiring, Hardiyanto & Partners (SHP) &Researcher at Indonesian Center for Telecommunication Law (ICTL)
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 19-2013 di sini