MAJALAH ICT – Jakarta. Maraknya aplikasi dan konten asing yang masuk ke Indonesia serta rencana pemanfaatan balon internet Google membuat kedaulatan internet Indonesia terancam. Demikian salah satu kesimpulan focus group discussion yang digelar di Jakarta dan diprakarsai oleh Indonesia ICT Institute.
Adapun nara sumber diskusi sendiri terdiri dari berbagai pemangku kepentingan (stakeholders) seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), IMOCA (Indonesia Mobile Content Association), ASSI (Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia, KITPI (Komite Independen Telekomunikasi dan Penyiaran Indonesia), pengembang konten lokal, IndoTelko Forum, ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) serta Nonot Harsono, mantan Anggota Badan Regulas Telekomunikasi Indonesia yang juga merupakan Ketua Pokja Kedaulatan Cyber Mastel.
Disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi, dalam diskusi bertema “Kedaulatan Internet Indonesia: Konten Lokal Vs Konten Asing”, nara sumber diskusi melihat bahwa ancaman kedaulatan internet Indonesia, dengan masuknya konten dan aplikasi asing, serta rencana untuk memanfaatkan balon internet Google, benar-benar nyata. “Para nara sumber melihat bahwa dengan kehadiran aplikasi maupun konten asing yang begitu mendominasi internet Indonesia, serta rencana memanfaatkan balon internet Google sebagai pendukung infrastruktur internet mengancam kedaulatan internet Indonesia,” katanya.
Handoyo Taher, Kabid Organisasi APJII dalam diskusi mengungkapkan, pertumbuhan internet di Indonesia sangat besar. Sayangnya, hal itu tidak dinikmati orang Indonesia sendiri. “Kita harus membayar jaringan internet ke luar negeri sebesar Rp. 15 triliun/tahun. Ditambah lagi, 218 juta dolar AS/tahun untuk akses internet. Ekonomi internet Indonesia diambil oleh global,” katanya.
Melihat hal itu, Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto Darwin berpendapat bahwa kita harus memiliki mega thinking. Dan katanya, negara punya kekuasaan hak wilayah internet, seperti yang dilakukan China. Isu kedaulatan akan mencakup beberapa hal, kata Doni. “Ada beberapa isu mengenai kedaulatan internet, yaitu keamanan cyber, privasi digital, regulasi, system esteem dan respect,” ujarnya.
Untuk mengembangkan konten dan aplikasi lokal atau disebut dengan over the top (OTT), Doni melihat perlunya sinergi antara beberapa pemangku kepentingan. “Perlu sinergi antara akademisi, kalangan bisnis, komunitas dan juga media untuk menghasilkan masyarakat yang efisien, produktif dan kompetitif dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi,” urainya.
Kasubdit Teknologi dan Infrastruktur e-Business Kementerian Kominfo Noor Iza menyampaikan bahwa pihaknya memiliki visi dan misi untuk menjadikan Indoensia sebagai largest digital economy di Asia Tenggara. “Untuk itu kami memiliki rencana untuk menciptakan 1000 digital eterpreneur dengan nilai 10 miliar dolar AS pada 2020,” ungkapnya.
Ditambahkan Noor Iza, untuk mengembangkan konten lokal, Kementerian Kominfo juga sudah mengajak beberapa pelaku industri konten dan aplikasi dalam kunjungan ke Silicon Valley, akhir Oktober lalu, untuk bertemu Plug and Play. “Di sana kita belajar dan mengetahui bagaimana proses pengembangan konten, dari pendanaan, marketing dan sebagainya,” katanya.
Sementara itu, Evi Puspa, Ketua IMOCA, berharap agar ada keberpihakan pemerintah terhadap pelaku dan pengembang konten lokal. “Saat ini, kita dikenakan pajak PPN, PPH hingga BHP Telekomunikasi dan USO yang cukup besar. Sementara, konten dan aplikasi asing hampir tidak dikenakan sama sekali,” sesalnya.
Tjandra Tedja juga dari IMOCA menambahkan, pengembang konten dan aplikasi lokal begitu taat terhadap aturan yang ada, yang dikeluarkan pemerintah, namun mengapa pemerintah tidak tegas terhadap aplikasi dan konten asing. “Harusnya pemerintah berani misalnya memblok Facebook, jika tidak mengikuti aturan,” harap Tjandra.
Mengenai balon internet Google, Sigit Jatipuro mewakili ASSI menyampaikan bahwa distuptive technology seperti yang dihadirkan melalui project loon ini perlu diwaspadai. “Harusnya kerja sama dilakukan tidak dengan Google, karena di dalam negeri juga sudah ada penelitian dan pengembangan serupa. Apalagi, balon Google ini belum sempurna,” jelasnya.
Ditambahkan Sigit, yang perlu juga diwaspadai adalah kemampuan surveillance yang dapat digunakan untuk memata-matai apa yang ada di bawahnya. “Ini membahayakan ketahan nasional. Ini lebih berbahaya dari satelit yang tertutup awan, sebab dengan balon Google ini akan lebih terang,” tandasnya.
Ketua Pokja Kedaulatan Cyber Mastel Nonot Harsono menyampaikan perlu mendaftar hal-hal terkait dengan ‘IPOLEKSOSBUD’ (ideologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya) kedaulatan internet. Nonot yang mantan Anggota BRTI juga menyoroti mengenai jaringan internet yang ada di Indonesia. “Ini yang saya sebut dengan normally open dimana kita memiliki NAP yang banyak, kabel serat optik dengan banyak gerbang sehingga sulit untuk mengontrol,” ungkap Nonot.
Sementara itu, Bernaridho Hutabarat, lelaki yang mengembangkan program Bahasa Batak mengusulkan agar perlunya memperhatikan sumber daya manusia Indonesia juga agar dapat bersaing dengan asing. “Harus ada afiliasi dengan industri, pengajar juga harus merupakan praktisi dan soal biaya pendidikan,” usulnya.