MAJALAH ICT – Jakarta. Korban telah banyak berjatuhan akibat salah memaknai UU ITE. Mengungkap kebenaran dianggap memfitnah dan Penyebaran berita bohong yang menyangkut kerugian konsumen dalam transaksi elektronik (Pasal 28 ayat (1) bisa dikenakan untuk siapapun dalam bentuk apapun. Penyebaran ujaran kebencian menyangkut SARA, namun bicara apapun kini bisa dianggap menyebar ujaran kebencian, meski tak menyangkut SARA. Menyikapi perkembangan terkini terkait penggunaan UU ITE tersebut, petisi untuk merevisi total UU ITE disuarakan.
Petisi yang disampaikan kepada Presiden RI Joko Widodo, Ketua dan Wakil Ketua DPR serta Menkominfo, diinisiasi Direktur Eksekutif Indonesia ICT Insitute Heru Sutadi. Disampaikan Heru, pada awalnya kelahiran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 11/2008 dimaksudkan untuk menjamin kepastian hukum akan informasi dan transaksi elektronik. Kejahatan siber yang sebelumnya begitu marak seperti hacking, cracking, carding, diharapkan dapat terjawan dengan kehadiran UU ini.
“Namun dalam perjalanannya, UU ini laksana UU sapujagad yang dapat dipakai untuk mempidanakan seseorang dengan menggunakan, khususnya, Pasal 27 ayat 3 terkait muatan penghinaan atau pencemaran nama baik. Masih segar dalam ingatan kita, seorang Ibu Prita Mulyasari yang komplain terhadap layanan sebuah rumah sakit harus berurusan dengan pengadilan karena dianggap mencemarkan rumah sakit tersebut,” katanya.
Dan meski UU ITE No.11/2008 kemudian direvisi menjadi UU ITE No.19/2016, penggunaan pasal pencemaran nama baik tidak juga berkurang. Yang menarik, karena sanksi terhadap Pasal 27 ayat (3) ancaman hukuman dikurangi menjadi maksimal 4 tahun (sebelumnya 6 tahun) sehingga tidak bisa langsung ditahan, kini beralih dengan menggunakan Pasal 28, baik ayat 1 maupun ayat 2, dimana ancaman hukuman adalah 6 tahun, sehingga bisa dilakukan penahanan.
Ditambahkannya, revisi sebagaian yang dilakukan dari UU ITE No.11/2008 ke No.19/20016 menyebabkan pasal 28 ini tidak mendapat perhatian serius. Dengan isu sebagai penyebaran ujaran kebencian atau hoaks orang bisa dengan mudah dibidik dengan pasal ini. Padahal, Pasal 28 ayat (1) sendiri adalah penyebaran berita bohong dan menyesatkan terkait kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, dan ayat (2) menyangkut ujaran kebencian yang berdasar SARA. Yang dalam prakteknya, bisa dikenakan pada siapapun yang dianggap menyebarkan berita bohong meski tidak terkait dengan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik serta berhadapan dengan hukum karena dianggap menyebarkan ujaran kebencian, meski tidak menyangkut SARA.
“Karena ada indikasi UU ini menjadi UU yang dapat dipakai untuk semua hal, yang ujungnya dikategorikan menyebarkan fitnah, ujaran kebencian atau berita bohong, yang dikhawatirkan tidak berdasar dan muaranya adalah pembatasan kritik, kebebasan berbicara dan pengungkapan kebenaran, seperti terjadi dalam beberapa waktu terkahir ini, maka UU ITE agar tidak menjadi “penjara” demokrasi, pembungkam kritik dan kebenaran, serta disalahgunakan untuk membenarkan yang salah dan mensalahkan yang benar, revisi total harus dilakukan. Bahkan, agar tidak memakan rakyatnya sendiri, UU ini harus dibatalkan sampai revisi total UU ITE diselesaikan,” tandas Heru yang berharap dukungan masyarakat untuk dilakukannya revisi total UU ITE dan pembatalan UU ini sampai revisi total UU ITE selesai dilakukan melalui tautan “Revisi Total UU ITE” di change.org.