MAJALAH ICT – Jakarta. Indonesia perlu membuat sistem klasifikasi konten secara nasional atau National Content Classification System (NCCS) yang berlaku dalam penyiaran, bioskop atau pun media over the top (OTT). Keberadaan klasifikasi tunggal ini akan memberi perlakuan sama pada sebuah konten yang akan ditayangkan di masing-masing platform. Selama ini, jiks sebuah sinetron diberikan klasifikasi 17 pada Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) oleh Lembaga Sensor Film (LSF), akan berubah klasifikasinya di televisi menjadi R-13. Padahal, bisa jadi memang kontennya hanya layak dikonsumsi oleh orang dewasa yang menurut Undang-Undang Perfilman terhitung sejak usia 17 tahun. Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Mohamad Reza, saat menjadi narasumber dalam kegiatan Penyusunan Nilai Standar Prosedur dan Kriteria pada Perubahan Undang-Undang Perfilmam yang dilaksanakan LSF di Jakarta.
Menurut Ervan Ismail selaku anggota LSF, kegiatan ini merupakan usaha LSF mendapatkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan film, mengingat isi dari undang-undang tersebut sangat terkait dengan banyak diantaranya KPI. “Dalam pasal 47 Undang-Undang Penyiaran misalnya, dikatakan bahwa isi siaran di televisi harus melalui sensor lembaga yang berwenang,” ujar Ervan. Karena itulah pertemuan sore hari itu, LSF juga meminta masukan dari Kementerian Komunikasi Digital dan KPI Pusat.
Dalam penyampaian masukan, Reza mengatakan, keberadaan klasifikasi tunggal ini diharapkan menghilangkan dispute atau ketidakjelasan dalam penentuan klasifikasi konten di berbagai platform media. Selain itu, tambah Reza, tidak boleh pengelola OTT membuat aturan klasifikasi sendiri yang menginduk pada negara asalnya Padahal mereka menjadikan Indonesia sebagai pasar produk-produk digitalnya. Reza berharap keadilan sensor lintas platform ini dapat diwujudkan melalui revisi undang-undang perfilman ke depan.
Dalam kesempatan tersebut, hadir pula Sekretaris Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital, Mediodecci Lustarini. Tentang keberadaan platform over the top (OTT) di Indonesia, Mediodecci menjelaskan memang ada kewajiban bagi mereka untuk memiliki kantor perwakilan ketika sudah mencapai jumlah traffic tertentu. Hingga saat ini, OTT asing yang resmi terdaftar di Indonesia adalah Netflix yang juga memiliki narahubung untuk berurusan dengan pemerintah. Ketika ditanyakan oleh Ervan tentang kemungkinan menjatuhkan sanksi terkait konten Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) pada platform streaming, Mediodecci menjawab mungkin saja.
“Jika ada aduan tentang konten nudity, Komdigi dapat memanggil penyedian layanan, bahkan dapat berujung blokir secara keseluruhan,” ujarnya. Dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kewenangan Komdigi bukanlah melakukan penghapusan konten, tapi penutupan akses terhadap konten tersebut di Indonesia. Netflix sendiri mengakui, sebagai platform global, pihaknya melayani dunia yang memiliki beragam kultur.
Lebih jauh, untuk mengelola aspirasi publik terhadap konten di media digital. Reza mengusulkan dibentuknya Gugus Tugas yang terdiri atas KPI, LSF dan Kemkomdigi. “Saat ini saja, layanan pengaduan konten di KPI dipenuhi reaksi publik atas konten digital,” ujarnya. Padahal, hingga saat ini kewenangan KPI belum sampai daya jangkaunya ke platform digital.
Dari Kemkomdigi sendiri mengingatkan, karena adanya kekosongan regulasi, jangan sampai juga overregulated ketika bicara media digital. Mediodecci menyampaikan semua pihak dapat duduk bersama Komdigi untuk difasilitasi mengenai pemanggilan Penyedia Sistem Elektronik (PSE) asing, termasuk meminta klarifikasi atas temuan-temuan konten yang dianggap melanggar tatanan hukum yang ada di Indonesia.


















