MAJALAH ICT – Jakarta. Sudah 2 bulan lebih, sejak Axis seharusnya menyelesaikan proses migrasi 3G di pita 1.900 MHz dari blok 2 dan 3 ke blok 11 dan 12, namun hingga saat ini, belum ada tanda- tanda migrasi tersebut akan selesai.
Hingga akhir Agustus, wilayah yang sudah dimigrasikan Axis dari kanal 2 dan 3 ke kanal 11 dan 12 baru tiga provinsi saja, yaitu Sumatra Barat, Kep. Riau, dan Kalimantan Timur.
Adapun, lima provinsi lainnya, yaitu Jawa Tengah dan DIY, Bali dan Lombok, Jakarta dan Banten, dan Jawa Barat yang dilayani 1.935 BTS belum berpindah blok karena kendala interferensi dengan sinyal milik Smartfren.
Sempat pindah selama 23 jam, tapi setelah itu balik lagi karena Axis mengklaim sinyal interferensi sangat kuat hingga sebagian besar pelanggannya terganggu.
Mengapa hanya Axis yang begitu disorot dalam proses migrasi 3G? Ya karena keberhasilan migrasi 3G memang sangat tergantung operator tersebut. Axis yang harus berpindah ke kanal 11 dan 12 karena tempatnya sekarang akan dihuni oleh Telkomsel dan Tri.
Telkomsel pun harus segera berpindah ke kanal 3 yang sebelumnya milik Axis karena di kanal 6 akan ditempati Indosat, demikian seterusnya.
Persoalan interferensi di blok 11 dan 12 sebenarnya bukan lah persoalan kemarin, karena hal itu sudah mulai dibicarakan di dicarikan solusinya sejak Desember 2011 dan hingga saat ini belum ada langkah konkret yang bisa menyelesaikan masalah, padahal, amanat Permenkominfo No. 19 Tahun 2013 soal penataan pita 3G adalah proses migrasi selesai 6 bulan sejak aturan ditetapkan, atau sekitar November 2013.
Apalagi, sebelumnya antara Axis dan Kominfo terlihat saling menyalahkan. Di pihak Axis, menganggap Kominfo kurang responsif terhadap laporan Axis mengenai kendala interferensi, sedangkan Kominfo menilai Axis selalu bermasalah dan membuat ulah.
Axis menilai Kominfo hanya sempat menyelesaikan persoalan satu BTS di Bekasi yang terkena interferensi dengan Smart, sedangkan Kominfo mengungkapkan tidak mungkin pihaknya memfasilitasi penyelesaian interferensi untuk 1.935 BTS Axis yang terkena interferensi.
Terlepas dari persoalan non teknis di atas, persoalan teknis yang ada sebenarnya lebih serius, karena terdapat dua teknologi yang berbeda, dari dua negara yang berbeda pula yang berdekatan dalam satu frekuensi, dan ini hanya ada di Indonesia.
Menengok kasus yang persis sama di India, pemerintah negara itu akhirnya memindahkan salah satu teknologi tersebut ke pita frekuensi lainnya, sehingga penyelesaian interferensi tak perlu berpanjang lebar.
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 16-2013 di sini