MAJALAH ICT – Jakarta. Mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto resmi mengajukan banding atas vonis Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terkait perkara dugaan kerugian negara dalam kerja sama penyelenggaraan 3G. Demikian siaran pers yang diterima Majalah ICT.
"Pada hari Kamis, 11 Juli 2013, Indar Atmanto dengan diwakili oleh pihak penasehat hukum telah mendaftarkan pernyataan banding atas perkara No. 01/Pid.B/Tpk/2013/PN. Jkt. PST atas nama Terdakwa Indar Atmanto, yang telah mendapatkan Akta Banding secara resmi dari Kepaniteraan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan No.30/Akta.Pid.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST," tulis siaran pers resmi mengenai upaya banding.
Banding diajukan mengingat vonis hakim yang diambil tanpa mendasarkan putusannya pada pertimbangan dan fakta yang muncul di persidangan. Walaupun tidak ada satu saksi pun yang memberatkan terdakwa, namun tetap memutus Indar Atmanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi karena telah mewakili IM-2 untuk menandatangani perjanjian kerjasama dengan Indosat.
Sementara itu, ITU (Internatioanl Telecommunication Union), lembaga PBB yang mengurusi telekomunikasi beserta Global System for Mobile Communication Association (GSMA) mempertanyakan standar dan kepastian regulasi telekomunikasi Indonesia terkait kasus perjanjian kerja sama Indosat-IM2.
Demikian diungkapkan CEO dan Presiden Director PT Indosat, Alexander Rusli. "ITU dan GSMA sudah mempertanyakan kepada kami tentang kepastian regulasi telekomunikasi di Indonesia karena kasus ini," jelas Alex. Dikatakanyya, hal itu karena kasus Indosat-IM2 ini telah menjadi perhatian dunia. "Masalah ini mengundang perhatian pelaku telekomunikasi global karena format kerja sama yang digunakan kedua perusahaan itu pada dasarnya sudah jamak digunakan," tambah Alex.
Ditegaskan Alex, dua lembaga dunia itu akan segera melayangkan surat kepada pemerintah Indonesia untuk menanyakan situasi industri telekomunikasi Indonesia sebagai bagian dari ekosistem internasional. "Kita di sini terikat dengan ekosistem telekomunikasi internasional, GSMA sendiri misalnya memfasilitasi `agreement` untuk roaming dan layanan telekomunikasi yang lain. Bisnis telekomunikasi itu memiliki standar global, bahkan GSMA juga mempertanyakan dan memberikan `guidance` regulasi," tandas Alex.
Sementara itu, regulator yang kerap berhubungan dengan ITU, BRTI, mengaku kecewa dengan vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim dalam perkara dugaan penyalahgunaan frekuensi Indosat-IM2. Menurut Anggota BRTI Nonot Harsono, Majelis Hakim mengabsahkan Kekeliruan paham Jaksa.
"Setelah mendengarkan putusan sidang pengadilan tipikor, tentu sangat kecewa karena Majelis Hakim mengabaikan beberapa hal yg amat penting," kata Nonot. Menurut Nonot, yang terjadi ini seperti NKRI negara hukum yg akan menghukum semua warganya.
Diuraikan Nonot, ada beberapa hal penting yang diabaikan dalam vonis Majelis Hakim. Dalam putusannya, kata Nonot, majelis Hakim tampak tidak memahami kerangka regulasi telekomunikasi dengan sama sekali tidak menggunakan PP 52 tahun 2000 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yg di dalamnya mengatur hubungan antara penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi. "Padahal PP 52 tahun 2000 adalah dasar hukum yang memerintahkan penyelenggara jasa ber-PKS dengan Penyelenggara Jaringan dimana salah satu jaringan itu adalah Jaringan seluler yg beroperasi di pita 2.1GHz. Majelis Hakim menyatakan PKS itu perbuatan melawan hukum, sedangkan PP-52-thn-2000 memerintahkan dua pihak untuk ber-PKS," katanya.
Ditambahkan Nonot, Majelis Hakim keliru memahami maksud Pasal 9 ayat (2) dari UU Telekomunikasi dan Penjelasannya. Majelis Hakim mengikuti 100% pemahaman JPU bahwa PT IM2 wajib memiliki izin Jaringan. Pemahaman ini tentu amat fatal; bagaimana mungkin perusahaan yang ingin menyelenggarakan jasa DIPAKSA harus memiliki Jaringan telekomunikasi. "Tentu ini amat bertentangan dengan bunyi Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan Penyelenggara Jasa dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi," jelas anggota BRTI dua periode ini.
Penjelelasan Pasal 9 Ayat (2), lanjut Nonot, berbunyi, penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lain. Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.
"Majelis Hakim sama tidak pahamnya dengan JPU bahwa yg dimaksud oleh kalimat "apabila disewakan kembali kepada pihak lain" adalah "Kapasitas jaringan". sedangkan bila untuk menyalurkan Jasa, berarti digunakan sendiri untuk menyediakan jasa; jadi, bila IM2 menyewa kapasitas 30% dari kapasitas jaringan Indosat lalu IM2 menyewakan kapasitas saluran lagi kepada penyelenggara JASA telekomunikasi lainnya, maka IM2 wajib memiliki izin penyelenggara jaringan," urainya lagi.
Bagi Nonot, Majelis Hakim mengkaitkan penafsiran keliru atas pasal 9 ini dengan Pasal 29 PP 53 thn 2000 yang menyatakan bahwa setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar BHP-frekuensi. Majelis Hakim tidak mencermati lebih jauh bahwa yang menggunakan spektrum frekuensi radio itu adalah Jaringan yang berbasis sistem Radio yg dijelaskan dalam PP 52 tahun 2000 tentang ragam jaringan telekomunikasi.
"Karena ketidak pahaman ini, majelis hakim gagal memahami kaitan antara UU 36/1999 – PP 52 thn 2000 – dan PP 53 thn 2000; Perlu diketahui khalayak bahwa PP 52 thn 2000 adalah tentang PENYELENGGARAN TELEKOMUNIKASI yang di dalamnya memuat ragam Jaringan Telekomunikasi dan Ragam Jasa Telekomunikasi, serta bagaimana hubungan kerjasama keduanya. Di antara ragam jaringan telekomunikasi yg disebutkan dalam PP 52-thn-2000 itu ada Jaringan bergerak seluler, ada telsus Penyiaran, ada satelit, dan sistem radio lainnya yang memerlukan alokasi spektrum frekuensi radio; naah untuk jaringan atau sistem komunikasi yang menggunakan sistem komunikasi radio ini DIATURLAH penggunaan spectrum frekuensi radio mengikuti kesepakatan internasional," sergahnya.
Akibat pemahaman ini, Majelis Hakim mengekor pemahaman JPU yang menyatakan bahwa seluruh penyelenggara telekomunikasi, baik penyelenggara jaringan ataupun penyelenggara jasa wajib membayar BHP-frekuensi. "Sungguh sangat mengecewakan mendengar fakta pembacaan putusan dimana Semua kalimat dalam putusan itu sangat mirip dengan kalimat dakwaan JPU. Ditambah lagi dengan pernyataan majelis hakim yang mengatakan bahwa Surat Menteri Kominfo tidak bisa lagi dijadikan acuan. Padahal mengabaikan Menkominfo sama saja dengan mengabaikan UU 36 tahun 1999. Bagaimana bisa diterima penegakan hukum dengan mengabaikan UU atau hukum yang ada," katanya sangat menyesal.