MAJALAH ICT – Jakarta. Potensi kerugian negara hingga triliunan rupiah yang disampaikan Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Kamilov Sagala, dibantah pihak Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel). Menurut Mastel, tudingan yang menyebutkan bahwa network sharing berpotensi mengurangi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi merupakan pandangan tidak berdasar. Justru sebaliknya, network sharing dapat menciptakan efisiensi sehingga mengurangi impor perangkat base transceiver station (BTS).
Demikian disampaikan Chairman Mastel Institute, Nonot Harsono, dalam keterangan tertulisnya. "Tidak berdasar jika ada pandangan bahwa network sharing berpotensi mengurangi PNBP dari BHP frekuensi. Kebijakan network sharing dengan sharing perangkat BTS akan sangat menghemat belanja BTS sehingga mengurangi impor,” katanya.
Menurut mantan Anggota BRTI ini, alokasi spektrum frekuensi untuk masing-masing operator, sama sekali tidak berubah. Jumlah biaya BHP frekuensi yang wajib dibayarkan juga tidak berubah. “Jadi, kebijakan network sharing tidak akan mengubah dan tidak akan mengurangi kewajiban PNBP dari setiap operator yang melakukan sharing,” tandasnya.
Nonot malah melihat bahwa dengan network sharing justru negara diuntungkan dengan banyak hal. Dia mencontohkan berbagai keuntungan itu antara lain percepatan pita lebar untuk bisa menyediakan akses internet di seluruh wilayah Indonesia, menghemat devisa, mengurangi defisit neraca perdagangan, pemerataan pembangunan hingga ke desa, financial inclusion (percepatan pengentasan kemiskinan) dan lainnya.
Nonot juga mengungkapkan hal itu seiring dengan proses revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53 Tahun 2000 tentang Telekomunikasi yang mengatur penggunaan frekuensi radio dan orbit satelit. “PP No.52 dan PP No.53 itu perlu sedikit revisi untuk menuju ke sana,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Kamilov menengarai ada potensi kerugian negara karena dapat mengurangi pemasukan pemerintah dari pos Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) hingga trilyunan rupiah. Hal itu karena ada ketentuan yang diubah mengenai konsep berbagi jaringan atau network sharing.
"Dalam revisi itu ada wacana berbagi jaringan (network sharing). Jika mengacu Undang-undang No 36 tentang Telekomunikasi jelas tentang tata cara penyelenggaraan jaringan membutuhkan izin yang diatur dengan keputusan menteri. Kalau penggunaan frekuensi diserahkan pada business to business, (B2B), ada potensi kerugian," kata Kamilov, yang juga merupakan mantan Anggota Badan regulasi telekomunikasi Indonesia.
Dijelaskannya, pasal 30 dari PP No 53/2000 menyatakan Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi bagi penggunaan bersama pita frekuensi dibebankan secara penuh kepada masing-masing pengguna. Nah, masalahnya muncul jika kemudian frekuensi ini digunakan bersama.
"Kalau network sharing ada operator A numpang ke B di suatu tempat dan sebaliknya di tempat lain. Blok frekuensi yang digunakan bisa menjadi milik A ditambah B, sehingga blok yang digunakan lebih besar, sementara biaya hak penggunaan (BHP) tetap," pungkasnya kepada Majalah ICT.