Majalah ICT – Jakarta. Beberapa waktu lalu, pemerintah telah mengeluarkan keputusan yang membolehkan PT Indosat menggunakan frekuensi yang dialokasikannya di 900 MHz untuk dapat digunakan selain teknologi GSM yang dipakainya selama ini. Kebijakan yang dikenal dengan istilah teknologi netral ini hampir sama dengan yang dikeluarkan pemerintah untuk frekuensi 2,3 GHz. Namun, karena belum ada kebijakan umum mengenai refarming, muncul pertanyaan, mau dibawa kebijakan teknologi netral kita?
Adopsi teknologi netral bukanlah sesuatu yang salah, trend nya memang ke sana. Namun, pengertian mengenai hal perlu dipertegas kembali. Sebab, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 11/2008, memandang teknologi netral sebagai sebuah konsep kebebasan memilih teknologi untuk pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dari sisi pengguna bukan penyedia.
Konsep teknologi netral menjadi kecenderungan kebijakan di banyak negara. Hal itu karena, khusus terkait dengan penggunaan spektrum frekuensi, sebagai sumber daya terbatas, maka spektrum yang ada harus dimanfaatkan seoptimal mungkin. Dan yang menariknya, teknologi-teknologi baru, selain membutuhkan pita frekuensi yang lebar, juga tidak ditentukan menempati satu rentang yang lebar, juga tidak ditentukan menempati satu rentang frekuensi tertentu. Seperti Broadband Wireless Access, dimana WiMax bisa ditempatkan di 2,3 GHz, 2,5 GHz, 3,3 GHz ataupun 3,5 GHz. Disesuaikan dengan region mananya, serta kebijakan masing-masing negara menentukan dimana WiMax akan dialokasikan.
Perkembangan terkininya adalah frekuensi eksisting yang sudah dipakai lama seperti 700 MHz, 900 MHz maupun 1800 MHz dapat dioptimalkan untuk menggunakan teknologi terkini. Pengalihan penggunaan teknologi yang dikenal dengan refarming ini banyak dilakukan di frekuensi 900 Mhz dan 1800 Mhz. 900 MHz dapat dibawa untuk UMTS atau 3G serta 1800 dapat dipakai untuk LTE.
Idealnya, sebelum dikeluarkan kebijakan perlu ada uji coba apa dampak teknologi netral jika dalam satu rentang frekuensi menggunakan teknologi yang berbeda. Saat akan lelang 3G di 2006 lalu, Indosat Starone dan Telkom Flexi saja harus dipindah ke 850 MHz karena metode hybrid teknologi dikhawatirkan mengganggu frekuensi tetangganya.
Dan kebanyakan negara, melakukan refarming secara bersamaan antara 900 MHz dengan 1800 Mhz, dengan beberapa metode. Salah satunya adalah mengembalikan semua frekuensi yang dipegang operator ke negara, baru kemudian dilakukan penataan baru. Konsep ini menyangkut biaya spektrum yang baru serta besaran alokasi frekuensi yang baru. Metode lainnya adalah hanya berupa penyesuaian harga spektrum, ataupun pengalokasian besaran lebar pita spektrum baru.
Sayangnya, Indonesia tidak mengadopsi metode-metode seperti itu. Pengubahan berdasar permintaan satu operator, tidak menunjukkan tata kelola manajemen spektrum yang baik dan terkesan tanpa arah karena harusnya dibuat dulu kebijakan umum mengenai refarming. Apalagi, kondisi saat ini, alokasi jumlah spektrum frekuensi untuk operator tidak sama serta ada juga yang tidak berdampingan. Dari tabel terlihat, Indosat dapat alokasi frekuensi terbanyak.