MAJALAH ICT – Jakarta. Soal merger XL Axiata dan AXIS Telekom Indonesia dikabarkan segera memasuki babak akhir. Hal itu setelah tim ad hoc buatan Menkominfo selesai mengkaji masalah teknis rencana merger tersebut dan telah menyampaikan sejumlah rekomendasi.
Walaupun ada berbagai versi rekomendasi, namun ada dua rekomendasi utama yang disebutkan akan menjadi pertimbangan Menteri Kominfo Tifatul Sembiring, terutama terkait frekuensi yang dialokasikan untuk operator yang merger tersebut dimana.
Menurut sumber Majalah ICT, dua opsi utama itu adalah, pertama, menarik 5 MHz dari alokasi yang saat ini ada. "Yang jelas pasti ditarik adalah 5 MHz, hal ini karena dalam suratnya XL bersedia mengembalikan 5 MHz," kata sumber. Sementara itu, opsi berikutnya adalah menjaga keseimbangan operator-operator untuk menggunakan frekuensi, khususnya di 1800 MHz, paska XL-AXIS merger. Regulator, disebutkan, mempertimbangkan agar operator utama, dapat menggunakan 20 MHz untuk LTE ke depannya. Dan kalau dilihat, posisi di 1800 MHz tidak akan banyak perubahan, bahkan yang mungkin justru berubah adalah di 2,1 GHz yang dialokasikan untuk 3G.
Meski saat ini, tiga operator sudah menyampaikan niatnya untuk mengambil limpahan frekuensi dari hasil merger XL-AXIS, namun tentu pemerintah juga tidak bisa sembarangan memberikan fekuensi pada satu operator tertentu saja. Apalagi, tidak ada aturan pemerintah boleh memberikan frekuensi secara begitu saja tanpa ada alasan dan mekanisme yang jelas, meski dengan alasan kepentingan nasional atau untuk anak perusahaan BUMN misalnya.
Mengacu pada PP No. 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi dan Orbit Satelit, ada beberapa temuan menarik. Pertama adalah penjelasan Pasal 25 ayat (2) yang berbunyi "Pada prinsipnya izin stasiun radio tidak dapat dialihkan. Namun, dalam hal kepemilikan perusahaan dialihkan dan atau ada penggabungan antar dua perusahaan atau lebih, maka pengalihan izin stasiun radio dimungkinkan setelah mendapatkan persetujuan dari Menteri." Dengan melihat hal ini, maka dalam kasus merger pengalihan izin stasiun radio dimungkinkan setelah mendapat persetujuan dari Menteri.
Selain itu, Pasal 23 ayat (1) menegaskan bahwa "Izin stasiun radio untuk penggunaan spektrum frekuensi radio dalam bentuk pita frekuensi radio diberikan untuk jangka waktu 10(sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 1(satu) kali selama 10 (sepuluh) tahun." Karena frekuensi 3G di 2,1 GHZ serta 1800 MHz, dan 900 MHz berbasis Pita maka ijinnya adalah 10 tahun. Untuk 3G, 2×5 MHz pertama dikeluarkan pada 2006, 2×5 MHz kedua untuk Tsel 2008, XL 2009, dan AXIS serta H3I di 2011. Sehingga masa laku ijin frekuensi untuk 3G paling cepat 2016, bahkan bisa hingga ke 2019 maupun 2021.
Yang juga menarik adalah apakah frekuensi bisa diambil atau dialokasikan pemerintah? Untuk pengambilan frekuensi, seperti dengan alasan rebalancing maupun realokasi Frekuensi Radio, dapat dilihat Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi "Dalam pelaksanaan realokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat(1), Menteri memberitahukan rencana realokasi frekuensi radio kepada pemegang izin stasiun radio sekurang-kurangnya 2(dua) tahun sebelum penetapan alokasi frekuensi radio baru.". Artinya, harus ada pemberitahuan 2 tahun sebelumnya, sebelum frekuensi diambil.
Sementara Pasal 28 PP yang sama menegaskan, "Dalam hal realokasi frekuensi radio dilakukan sebelum izin stasiun radio berakhir, pengguna spektrum frekuensi radio baru wajib mengganti segala biaya yang ditimbulkan akibat realokasi frekuensi radio kepada pengguna spektrum frekuensi radio lama."
Sehingga, jika saat ini ada wacana pengambilan frekuensi dari penggabungan perusahaan telekomunikasi, maka ketetapan Menteri akan menendang peraturan di atasnya yang dalam hal ini Peraturan Pemerintah, sehingga rawan di judicial review. Frekuensi dapat diambil oleh pemerintah jika memang operator mengembalikan frekuensi tersebut kepada pemerintah dalam masa ijin masa berlaku karena memang tidak digunakan.