MAJALAH ICT – Jakarta. Industri telekomunikasi berkembang sangat pesat di Indonesia, khususnya dalam lima tahun terakhir. Apabila di rata-rata, nilai bisnis industri tersebut dalam 5 tahun terakhir mencapai Rp80 triliun setiap tahunnya.
Boleh dibilang, pengelolaan frekuensi di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) merupakan lahan basah bagi negara. Betapa tidak? Harga frekuensi 5 MHz (1 blok) saja mencapai Rp160 miliar, apalagi pendapatan dari semua alokasi frekuensi yang ada?
Dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang sebagian besar dari biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, adalah pada 1998, di saat pengelolaan frekuensi masih acak-acakan, PNBP hanya mencatat Rp300 miliar.
Jumlah tersebut meningkat tajam pada 2005 menjadi Rp2,6 Triliun, 2008 Rp6 Triliun, dan 2010 Rp12,1 Triliun. Untuk tahun 2011 memang turun yakni sebesar Rp 11 triliunan saja, tapi untuk tahun ini kita targetkan akan ada PNBP senilai Rp14 trilun. Namun, mengkilapnya industri telekomunikasi tak dirasakan sepenuhnya oleh Indonesia, karena minimnya kepemilikan perusahaan lokal di operator telekomunikasi kurang gregetnya regulasi dalam mendesak pelaku usaha menyelesaikan kewajibannya, termasuk kewajiban biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi yang masuk dalam penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Sehingga, pajak yang seharusnya dapat dinikmati negara, harus berkurang, bahkan terancam hilang sama sekali. PT Smart Telecom misalnya, yang tidak bersedia membayar BHP hingga tiga tahun.
Bahkan, pemerintah atau regulator sampai rela menghitung ulang kembali besaran pajak biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi sejak Januari 2011 meski sampai sekarang juga tak kunjung selesai.
Potensi kehilangan pajak dari biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi di pita 2,5 Ghz adalah sebesar Rp2,4 triliun setiap tahun karena penguasaan yang besar untuk satelit broadcasting sebesar 150 MHz.
Sekjen Indonesia Wireless Broadband (Idwibb) Yohannes Sumaryo mengungkapkan di pita tersebut, terdapat sebuah perusahaan broadcasting yang menguasai spektrum selebar 150 MHz dan hanya bayar BHP sebesar Rp300 juta setahun.
Selain masalah pita frekuensi 2,5 GHz tersebut, pemerintah juga kehilangan potensi BHP frekuensi yang seharusnya dibayarkan operator satelit asing yang bekerja di slot orbit milik Indonesia, yaitu Mabuhay asal Filipina dan SES SA asal Prancis.
Jangan lupa juga, pemerintah juga sepertinya kecolongan dengan operasional Research in Motion melalui BlackBerry di Indonesia yang tidak membayar biaya hak penyelenggaraan (BHP) Jasa Telekomunikasi.
Kini, pemerintah bakal membidik PNBP lebih besar lagi dari BHP frekuensi, terutama setelah penjualan dua kanal 3G dan rencana implementasi Long Term Evolution (LTE) di Indonesia. (Twitter: @arifpitoyo)
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 8-2013 di sini