Search
Senin 2 Desember 2024
  • :
  • :

Menkominfo Tidak Berniat Hidupkan Kembali Fungsi Deppen Seperti di Era Orde Baru

MAJALAH ICT – Jakarta. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan bahwa Kementerian yang dipimpinnya tidak berniat hidupkan kembali fungsi Departemen Penerangan seperti di era Orde Baru, yang penuh sangat mengatur media massa. Demikian dikatakan dalam diskusi Film Lentera Maya yang digagas oleh Lembaga pemerhati kemajuan Teknologi dn Informatika ICT Watch di Taman Budaya Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Film Lentera Maya merupakan film dokumenter yang disiapkan oleh ICT Watch dan Watch Doc.

Ditegaskan Rudiantara, Kemkominfo tak ada keinginan sedikit pun untuk kembali ke cara-cara Orde Baru. ‘Kementerian Kominfo tidak ingin kembali ke zaman orde baru, kita hanya akan menapis konten di internet sesuai kebutuhan, tidak semuanya kita kontrol,” papar Rudiantara sebagaimana dilansir laman resmi Kementerian Kominfo.

Film Lentera Maya merupakan film dokumenter yang disiapkan oleh ICT Watch dan Watch Doc, bercerita tentang upaya beberapa tokoh yang berjuang menyampaikan program internet sehat kepada publik termasuk upaya komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia yang menggagas Deklarasi Anti Hoax di 7 kota beberapa waktu lalu. Hadir juga dalam diskusi film tersebut Direktur ICT Watch Donny BU, Pegiat ICT Watch Matahari Timoer, Direktur SAFENet Damar Juniarto dan Sekretaris Ditjen Aptika Mariam F Barata, serta sekitar 100 Netizen Lombok NTB.

Tudingan bahwa Kementerian Kominfo akan menghidupkan kembali fungsi Departemen Penerangan, hal itu karena kini Kominfo ikut mengatur keberadaan media online, yang merupakan buah perjuangan era reformasi. Jika sebelum reformasi, media dibatasi dan dibelenggu dengan perijinan SIUPP dan ancaman bredel, kini media online juga diancam untuk diblokir. Hanya saja, tak secara langsung bertindak, Kementerian Kominfo menggunakan tangan Dewan Pers untuk membatasi gerak media online yang begitu tumbuh subur.

Ditjen Aptika Semuel Abrijani Pangerapan mengungkap ada 43 ribu situs media online yang tidak terdaftar di Dewan Pers. Sementara yang terdaftar hanya sebanyak 300-an media. Karena itu, ke depan akan diberlakukan sistem QR Code untuk membedakan media yang terdaftar di Dewan Pers dan mana yang tidak terdaftar.

“Ada 43 ribu yang mengaku jurnalistik. Kalau diisi sama yang enggak bener, kalau sampai masyarakat menilai, wah media brengsek, kerja pers jadi bahaya,” kata Semuel. Dikatakannya, situs yang merasa layak menjadi situs jurnalistik, untuk segera mendaftar ke Dewan Pers.

Menurut Semmy, boleh saja tidak jadi jurnalis dan berbicara apa saja. “Tapi jangan berlindung di bawah Undang-undang Pers. Kami enggak pernah memblokir media jurnalistik, menyensor saja kami tidak boleh,” tandasnya.

Ditambahkannya, dalam beberapa kasus, situs abal-abal tersebut kerap menjadi media untuk memeras. Bahkan beberapa kasus kini tengah diproses KPK. “Di Bengkulu ada media abal-abal, diproses di KPK. Ini kan mengacaukan industri. Pemerintah juga ke depan tidak boleh iklan di media yang tidak terdaftar di Dewan Pers,” kata Semuel.

Meski mengaku tidak menyensor, Kementerian Kominfo dalam beberapa waktu terakhir ini memblokir media online Islam sebanyak 11 situs. Meski kemudian, beberapa media tersebut beberapa dinormalisasi atau blokirnya dicabut kembali.