Search
Sabtu 20 April 2024
  • :
  • :

Meski dengan Wajah Baru, UU ITE Tetap Mengancam (Bagian 1)

 

MAJALAH ICT – Jakarta. Naskah Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 25 November 2016. UU ITE baru ini resmi berubah menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. Sebelumnya naskah Undang-Undang tersebut telah disahkan pada Rapat Paripurna DPR RI tanggal 27 Oktober 2016.

Naskah Undang-Undang tersebut tercatat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251 dan Tambahan Lembaran Negara No 5952 dan mulai diundangkan sejak tanggal diundangkan pada 25 November 2016.

Dijelaskan Plt Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah hukum yang mengatur penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi yang pertama di Indonesia. Awalnya, UU ini dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan menjadi payung hukum untuk kegiatan transaksi atau perdagangan elektronik di dunia maya (e-commerce).

Seiring perkembangan penggunaan media sosial, kata Noor, sejumlah pasal dalam UU ITE dianggap merugikan, bahkan mengancam kebebasan berekspresi dan berpendapat. Penyebabnya, sejumlah pasal cenderung multitafsir dan tumpang tindih dengan peraturan hukum lain. Polemik pun muncul setelah banyaknya kasus hukum terkait pelanggaran UU ITE. “Setelah melalui serangkaian prosedur dan kegiatan sejak 2015, akhirnya pemerintah dan DPR RI sepakat mengesahkan muatan materi perubahan UU ITE, ” ujar Noor.

Adapun muatan materi pokok revisi UU ITE yang diharapkan mampu menjawab dinamika TIK di Indonesia meliputi, pertama, menambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multitafsir terhadap “ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik” pada Pasal 27 ayat 3. Di antaranya, menegaskan ketentuan tersebut adalah delik aduan dan unsur pidana mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.

Kedua, menurunkan ancaman pidana pencemaran nama baik dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun dan denda dari Rp 1 miliar menjadi Rp 750 juta. Selain itu, menurunkan ancaman pidana ancaman kekerasan dan atau menakut-nakuti pada pasal 29 dari paling lama 12 tahun penjara menjadi 4 tahun dan denda dari Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.

Ketiga, melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi atas pasal 31 ayat 4 yang mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi ke dalam Undang-Undang. Selain itu, menambahkan penjelasan pasal 5 terkait keberadaan informasi elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.

Keempat, melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada pasal 43 ayat 5 dan ayat 6 dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, yakni penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP. Selain itu, penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 1 x 24 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.

Kelima, memperkuat peran penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) UU ITE pada pasal 43 ayat 5, dengan menambahkan kewenangan untuk memutuskan akses terkait tindak pidana teknologi informasi dan kewenangan meminta informasi dari penyelenggara sistem elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.

Keenam, menambahkan ketentuan “right to be forgotten” atau kewajiban menghapus konten yang tidak relevan bagi penyelenggara sistem elektronik. Pelaksanaan “right to be forgotten” dilakukan atas permintaan orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.

Ketujuh, memperkuat peran Pemerintah untuk mencegah penyebarluasan konten negatif di internet dengan menyisipkan kewenangan tambahan pada ketentuan pasal 40, yakni pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan informasi elektronik yang memiliki muatan yang dilarang.

“Melalui revisi UU ITE, Pemerintah juga berwenang memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum. Revisi UU ITE diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat diharapkan semakin cerdas dalam menggunakan internet, menjaga etika dalam berkomunikasi dan menyebarkan informasi, serta menghindari konten berunsur SARA, radikalisme, dan pornografi,” yakin Noor Iza.

Mengancam

Stigma pasal karet yang selama ini menempel pada UU ITE No.11/2008 khususnya pada Pasal 27 ayat 3 nampaknya tak berubah karena Pasal tersebut tidak dicabut dalam versi revisinya. Pasal tersebut selama ini selalu menjadi senjata andalan untuk mengajukan tuntutan pencemaran nama baik, sehingga mengancam kebebasan berekspresi di internet. Pemerintah yang diharapkan menambahkan sejumlah penjelasan untuk menghindari multitafsir terhadap ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik pada Pasal 27 ayat 3, ternyata memutuskan hanya mengurangi ancaman hukumannya.

“Pemerintah seharusnya mencabut ketentuan Pasal 27 ayat (3), tidak hanya mengurangi ancaman hukumannya,” tutur peneliti dari lembaga kajian Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara. Menurut Anggara, argumen pemerintah itu lemah. ICJR dan LBH Pers berpandangan bahwa norma dan praktik perubahan tersebut masih tetap berpotensi mengancam kebebasan ekspresi. Selain itu, katanya, ada persoalan duplikasi tindak pidana karena ketentuan–ketentuan yang sama dalam KUHP masih mampu untuk menjangkau perbuatan–perbuatan yang dilakukan dengan medium internet.

Ditandaskan Anggara, mengurangi ancaman hukuman tidak menjawab akar masalah karena dalam praktik, aparat penegak hukum kerap menggunakan tuduhan ganda, pasal berlapis, sehingga ancaman pidana yang ada dapat menahan sesorang yang dilaporkan atas pasal 27 ayat (3). “Problem yang terjadi adalah pasal-pasal pidana tersebut terbukti masih bersifat karet, multi intrepretasi, dan gampang disalahgunakan,” kata Anggara.

Sementara itu, Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) Damar Juniarto mengaku sangat kecewa terhadap pengesahan UU ITE yang baru.
“Kecewa saya. Jokowi adalah presiden yang punya visi ke depan karena memperhatikan dunia digital. Namun reformasi hukum UU ITE ini masih minimalis,” kata Damar. Menurutnya, revisi UU ITE masih berpotensi mengancam kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia di ranah digital. Dan aturan tersebut bisa jadi ganjalan dalam pelaksanaan demokrasi ke depan dengan lebih banyak orang dipenjarakan karena ekspresinya diberangus dengan alasan pencemaran nama, penodaan agama, dan pengancaman.

Selanjutnya >>

Tulisan ini dan informasi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terkini dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No.51-2016