MAJALAH ICT – Jakarta. Mantan Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) M. Ridwan Effendi menekankan bahwa penetapan tarif interkoneksi dengan metode simetris seperti yang saat ini dijalankan sangatlah tidak tepat. Menurutnya, yang lebih tepat adalah menggunakan metode asimetris, di mana tarif interkoneksinya berbeda antara satu operator dengan yang lain.
Demikian dikatakan Ridwan dalam acara seminar "Aspek Persaingan Usaha dalam Penetapan Tarif Interkoneksi" yang digelar Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Jakarta. Dikatakannya, metode simetris antaroperator dimana besaran tarif interkoneksinya dibuat sama antara satu operator dengan yang lain, tidak tepat karena antaroperaor investasinya berbeda-beda.
"Investasi yang dikeluarkan operator untuk membangun infrastrukturnya berbeda-beda. Biaya operasi dan pemeliharaannya juga berbeda. Jadi sudah seharusnya tarif interkoneksinya berbeda antara satu operator dengan yang lain, tidak dibuat sama dengan nilai Rp 204 per menit," tandas Ridwan.
Menurutnya, dengan menerapkan metode asimetris, hal ini bisa menjamin tidak adanya operator yang diuntungkan maupun dirugikan, sehingga dapat mencegah persaingan usaha yang tidak sehat. Karena berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000, penetapan tarif interkoneksi tidak boleh merugikan penyelenggara telekomunikasi.