MAJALAH ICT – Jakarta. Sepanjang 2012, Majalah ICT mencatat tak ada perang tarif yang cukup signifikan seperti di era 2000-an. Industri telekomunikasi yang masih belum pulih baik karena kondisi makro ekonomi yang kurang baik, ditambah regulasi yang cenderung kurang mendukung mebuatnya seperti jalan di tempat.
Jangankan mencetak laba dalam jumah besar, mempertahankan agar tidak rugi saja sudah sangat sulit dan perlu energi sangat besar.
Tercatat pada 2012, perang tarif di segmen layanan suara dan SMS praktis tidak ada. Yang ada hanyalah perang tarif di sektor layanan data, seiring dengan berkembang pesatnya smartphone di Indonesia.
Bagi operator yang sudah mapan, perang tarif sangat dihindarkan, karena terbukti karena membanting tarif begitu dalam, bukannya pendapatan makin meningkat seiring dengan karena bertambahnya pelanggan, justru kerugian lah yang diraih.
Kualitas layanan yang makin rendah karena tarif yang murah menjadikan pelanggan malah beringsut-ingsut meninggalkannya.
Pergeseran perilaku pelanggan telekomunikasi dari layanan SMS ke chatting atau update status di social media menjadikan ponsel pintar asal China dan lokal yang murah namun berkemampuan data tinggi begitu berjaya, ditambah lagi serbuan ponsel android murah dan BlackBerry yang harganya makin terjangkau.
Karena pergeseran ke layanan data itu lah, pelanggan cukup terganggu apabila kualitas layanan operator apa adanya, seperti BBM tak langsung sampai, chatting banyak delay, hingga mention di twitter yang tak pernah diterima kecuali apabila dibuka di PC. Operator pun rajin memodernisasi jaringannya, ”sehingga itulah alasan perang tarif menjadi tidak
Baru saja mulai bangkit dari perang tarif, operator telekomunikasi, terutama yang medioker, kembali harus menelan pil pahit, yaitu berupa keluarnya aturan interkoneksi SMS berbasis cost based, dan tidak lagi berbasis sender keep all.
Disamping rencana SMS cost based, regulator juga mulai membahas perhitungan ulang biaya interkoneksi berbasis biaya pada 24 Juni 2010, sehingga ada kemungkinan turun lagi.
Pertumbuhan Semua
Sebenarnya, penurunan tarif tersebut tak lepas dari peran operator telekomunikasi yang sering menyampaikan data semu mengenai pertumbuhan telekomunikasi. Jumlah pelanggan yang saat ini sudah mencapai 200 jutaan pun sebenarnya masih layak diperdebatkan, karena dasar yang digunakan operator adalah penjualan nomor perdana sampai masa tenggang berakhir.
Anggapan bahwa telekomunikasi sudah jenuh, sehingga margin Ebitda yang masih sangat tinggi seharusnya diturunkan menjadi di level 20%-30% pun sebenarnya ada peran besar operator dalam menyampaikan data. Penetrasi desa secara nasional yang sampai 90% bukan berarti penduduk dalam satu desa itu memiliki ponsel semua bukan?
Aturan ini tentu saja sangat menguntungkan operator besar yang memiliki banyak pelanggan, sedangkan bagi operator kecil, pendapatan pengiriman SMS yang seharusnya diterimanya masih harus dibagi dengan operator penerima yang kebanyakan adalah operator besar.
Apalagi ada operator yang bilang sudah mencapai penetrasi kecamatan sampai 100%. Siapa yang berani mengungkapkan penduduk dalam satu kecamatan semuanya memiliki ponsel? Bisa jadi hanya dalam hitungan jari, seperti di pedalaman Papua dan Sulawesi.
Karena data-data yang mengkilap itu lah yang mendorong regulator memberikan aturan penarifan yang ketat seiring dengan penetrasi telekomunikasi yang katanya sudah mature