MAJALAH ICT – Jakarta. Disebut mission imposible, karena memang registrasi prabayar yang valid dan audit billing system operator sangat sulit dilakukan. Registrasi nomor prabayar memang sudah mulai diterapkan sejak 27 September 2006, namun pelaksanaannya cenderung asal-asalan.
Program registrasi prabayar melalui short code 4444 bisa dibilang jauh dari kata berhasil dan malah bisa disebut gagal total. Mengapa? Karena diprediksi tak sampai 1 persen dari total 240 juta pelanggan prabayar yang bersedia mencantumkan data valid mengenai dirinya.
Validasi dan verifikasi data pengguna yang minim bahkan tidak ada sama sekali menjadi pemicu gagalnya registrasi prabayar.
Minimnya tingkat validasi data pelanggan prabayar bisa dikarenakan dua hal. Operator yang tidak serius untuk ‘jemput bola’ dan tidak tegas untuk menghanguskan nomor yang invalid, juga karena rendahnya kesadaran dari para pelanggan untuk mengungkap jati dirinya.
Pelanggan yang asal-asalan mengisi form registrasi pun dengan mudah tetap bisa menggunakan layanan telekomunikasi. Prabayar jelas beda dengan pascabayar. Pelanggan pascabayar sudah terlebih dulu terdaftar keterangan jati dirinya di operator, tidak dengan prabayar.
Lain ceritanya kalau pelanggan prabayar sewaktu membeli simcard diwajibkan mengisi formulir sebagaimana pelanggan pascabayar, atau minimal menyerahkan kartu identitas atau KTP. Pemerintah juga bisa langsung mengeluarkan peraturan yang meminta operator untuk menonaktifkan pelanggan yang tidak mencantumkan data yang sebenarnya untuk mengurangi SMS penipuan yang akhir-akhir ini makin meresahkan.
Mission imposible berikutnya adalah soal audit billing system operator telekomunikasi. Sulit, karena biaya pengadaan perangkat dan prosesnya sangat mahal, bisa mencapai Rp5 miliar secara nasional per tahun.
Biaya bukan hanya pada pembelian perangkatnya, juga pada pembelian pulsa selama proses tera billing berlangsung.
Selain itu, kurang terbukanya operator dalam membuka data trafiknya juga menjadi kendala tersendiri. Wajar, karena data tersebut bagi operator merupakan sesuatu yang confidential.
Langkah yang mungkin bisa dilakukan guna mengurangi potensi kerugian pelanggan yang besar adalah metode audit atau memeriksa penarifan operator secara acak atau sampling sehingga tidak memerlukan banyak biaya.
Bisa juga operator sendiri yang melakukan audit atau peneraan dan hasilnya dilaporkan kepada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Masing-masing metode memang memiliki kelemahan masing-masing, namun kepentingan pelanggan seharusnya tetap diutamakan oleh operator dibandingkan dengan mengejar keuntungan semata.
Tulisan ini dan informasi-informasi mengenai perkembangan ICT Indonesia lainnya dapat dibaca di Majalah ICT Edisi No. 16-2013 di sini